Kamis, 22 Oktober 2009

AKAL DAN WAHYU

A. PENDAHULUAN
Banyak hal yang menarik dari doktrin akidah Islam. Doktrin Islam selama ini telah membentuk cara pandang serta cara berpikir umatnya. Cara berpikir dengan akal ataupun interpretasi terhadap wahyu Ilahiah akan membentuk kesadaran serta perilaku. Lalu dengan realitas umat islam saat ini, timbul suatu paradoks yang membuat kita harus melakukan interprestasi ulang terhadap sistem berpikir (akal) maupun wahyu Ilahiah dalam konteks keseharian.
Memang kita dapati pada setiap bangsa dan di semua zaman, bahwa banyak orang dilemparkan oleh karena kekurangan ilmu pengetahuannya dan kelalaiannya sendiri keluar dari pantai keyakinan, sehingga ia jatuh kedalam lembah keraguan.

B. PEMBAHASAN
1. AKAL
1.1 Definisi Akal
Manusia umumnya dikonsepkan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq). Daya berfikir, yang dalam falsafah islam dikatakan sebagai salah satu daya yang dipunyai oleh roh, disebut akal. Akal dipandang sebagai esensi manusia. Bahkan dalam pandangan islam, seseorang baru dikatakan mukallaf (orang yang sudah dibebani kewajiban-kewajiban agama), salah satu dasarnya adalah bila seseorang itu sudah berakal.
Di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali telah menjelaskan bahwa perkataan akal ini digunakan untuk menunjukan kepada empat makna, yaitu:
1. Akal adalah sifat yang membedakan manusia dari pada hewan.
2. Akal adalah ilmu pengetahuan yang timbul kealam wujud pada diri kanak-kanak yang dengannya ia dapat membedakan tentang mungkinnya perkara yang mungkin dan mustahilnya perkara yang mustahil.
3. Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pada pengalaman dengan berlakunya macam-macam keadaan.
4. Akal sebagai kekuatan daripada instinct yang berkesesudahan kepada mengetahui akibat dari pada segala perkara dan mencegah serta menundukan hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan sesaat.
Apabila seseorang telah memiliki kekuatan seperti itu, maka ia disebut berakal. Segala gerak langkahnya mengikuti kepada kehendak pertimbangan akan akibat-akibatnya, tidak mengikuti kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan menurut Hamka akal ialah anugrah Tuhan kepada makhluk yang dipilihn-Nya, yakni manusia. Sebagai anugrah terhadap makhluk pilihan, akal menjadi dasar yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Perbedaan itu di letakkan oleh Tuhan pada pemberian akal, telah memberikan potensi kepada manusia untuk meneliti dan mencari rahasia yang tersembunyi. Dengan akal itulah manusia dimungkinkan untuk melakukan perenungan, dan pada gilirannya mampu melakukan penelitian.
Sebagai pemberian Tuhan, akal mempunyai kebebasan untuk mencari, kendatipun kawasan pencarian akal itu hanya sebatas wilayah yang dapat dijangkaunya. Dengan akal manusia mempunyai kecerdasan yang memberikan kemampuan untuk menilai dan mempertimbangkan dalam pelaksanaan perbuatan manusia sehari-hari.
Al-Qur’an selalu menekankan agar manusia beriman dengan menggunakan pikiran. Allah Swt telah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 179 yang artinya:
“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, karena mereka mempunyai akal tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”
Dan ditegaskan dalam hadits Nabi Saw yang di riwayatkan oleh Ibn al-Mahbar dan Tirmidzi, yang artinya:
“bahwa Nabi Saw telah bersabda kepada Abu al-Darda: “Lebihkanlah akal anda supaya anda lebih dekat dengan Tuhan anda”. Abu al-Darda berkata: “Demi ibu bapakku ya Rasulullah, bagaimana aku boleh melakukan yang demikian?”. Beliau menjawab: “Jauhilah semua yang diharamkan oleh Allah Swt dan kerjakanlah semua yang diwajibkan oleh-Nya, maka anda akan menjadi orang yang berakal, kerjakanlah amal-amal saleh, niscaya anda akan bertambah kedekatan dengan Tuhanmu “azza wa jalla dan kemuliaan di hari yang akan datang”.
Jadi, akal adalah nikmat yang diberikan Allah Swt kepada manusia yang sangat besar dan patut kita syukuri, dan Allah Swt merintah agar kita senantiasa menjaga, memelihara dan menggunakannya.

1.2 Fungsi Akal
- Sebagai alat untuk membedakan atau menilai baik buruknya sesuatu, maka akal mempunyai peranan dalam membentuk sifat-sifat yang baik di dalam jiwa manusia, disamping menghilangkan sifat-sifat yang buruk daripadanya.
- Membentuk pengertian dan merumuskan pendapat, maka akal mempunyai peranan dalam menjadikan manusia mempunyai kesediaan untuk menerima atau memperoleh ilmu pengetahuan dan mengumpulkan pengalaman.
- Membuat kesimpulan, akal mempunyai peranan dalam membentuk kekuatan pada diri manusia untuk mengekang syahwat dan menjauhi segala perkara yang merugikan dan membahayakan.

2. Wahyu
2.1 Definisi Wahyu
Wahyu adalah kata masdar yang berarti berita, baik berita itu disampaikan secara lisan ataupun tulisan. Pendeknya segala berita yang disampaikan kepada orang lain supaya orang itu mengetahuinya. Dan kemudian kata wahyu itu dibiaskan pemakaiannya kepada segala berita yang disampaikan dari Allah kepada para nabi. Dan ada pula yang mengatakan, bahwa wahyu itu pemberitahuan secara rahasia (isyarat) tetapi yang dimaksudkan adalah isi berita.
Adapula yang mengatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah Swt baik dengan sesuatu perantara ataupun tidak.
Para ahli telah memberikan definisi secara istilah, bahwa wahyu adalah pemberitahuan Allah Swt kepada Nabi diantara nabi-nabi-Nya tentang hukum syara’.
Menurut Hamka wahyu adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada nabi-nabi. Para nabi sebagai menusia utama, menerima pengetahuan tersebut dari Tuhan dengan cara penerimaan langsung melalui perantara malaikat, atau dengan cara mendengar suara ataupun tidak, tetapi para nabi paham betul bahwa apa yang mereka terima itu berasal dari Tuhan.

2.2 Fungsi Wahyu
Fungsi wahyu yang pertama menurut Hamka adalah memberi tahu kepada manusia siapa Tuhan yang sebenarnya itu. Hal ini dijelaskan oleh Hamka dengan mengatakan bahwa “kedatangan agama ialah menuntun dan menjelaskan bahwa Dia memang satu adanya” dan lewat tuntunan wahyu itu pula, Dia yang satu itu dikenal oleh manusia dengan nama Allah yang bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim.
Fungsi wahyu yang kedua, adalah memberi tuntunan bagi manusia apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain, setelah dituntun para nabilah manusia baru mengetahui bahwa bila ia melakukan kebaikan, manusia akan diberi ganjaran pahala, dan apabila ia melakukan kejahatan, maka kepadanya akan diberikan siksaan dan azab.
Dengan demikian fungsi wahyu pada intinya ialah pemberi informasi tentang kewajiban berterima kasih kepada Allah Swt serta kewajiban untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

3. Pemahaman Beberapa Aliran Dalam Islam Mengenai Akal Serta Fungsi Wahyu.
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks manakah diantara keduanya, akal ataukah wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu aliran Maturidiyyah Samarkand yang juga termasuk penganut pemikiran kalam rasional mengatakan bahwa kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah dan Maturiddiyah Samarkand untuk menopang pendapat mereka adalah surat Fushlihat ayat 53, surat Al-Ghasiyah ayat 17 dan surat Al-A’raf ayat 185.
Bagi aliran kalam rasional, karena akal manusia sudah mengetahui empat hal yang disebutkan di atas maka wahyu disini berfungsi memberikan konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Menurut mereka bukan berarti wahyu tidak perlu, wahyu diperlukan untuk memberitahu manusia bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, dan menyempurnakan pengetahuan akal serta menjelaskan perincian hukuman yang akan diterima manusia di hari akhir.
Sedangkan aliran Asy’ariyyah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih, baik dan buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang buruk, itu diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui dengan akal. Sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bagi aliran kalam tradisional untuk memperkuat pendapatnya adalah surat Al-Isra’ ayat 15, surat Thaha ayat 134, surat An-nisa ayat 164 dan surat Al-Mulk ayat 8-9.
Bagi aliran kalam tradisional, karena mereka memberikan daya yang lemah kepada akal, fungsi wahyu bagi aliran ini sangat besar. Tanpa diberitahukan oleh wahyu, manusia tidak mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, serta kewajiban-kewajibannya yang harus dilakukan sebagai hamba.

4. Korelasi Antara Akal dan Wahyu
Setelah kita memahami definisi serta fungsi dari akal dan wahyu tersebut maka keduanya mempunyai suatu korelasi yang sangat mengikat. Akal yang dipandang sebagai esensi manusia yang berdaya untuk berfikir serta wahyu yang di artikan sebagai berita atau informasi yang diberikan oleh Allah Swt kepada orang pilihan dan disampaikan kembali kepada yang lainnya. Lewat tuntunan wahyulah diperolehnya suatu petunjuk dan akal sebagai alat berfikir manusia berguna untuk menafsirkan wahyu yang telah diturunkan, walaupun akal pada dasarnya sangat terbatas daya jangkaunya dan yang dihasilkannya pun akan relative sehingga terjadinya keragaman pemaham tentang isi wahyu itu yang ditafsirkan oleh akal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar