Kamis, 03 Desember 2009

Misteri di Balik Simbol Zodiak

Ada misteri apakah di balik simbol tersebut?

Simak baik-baik hubungan antara simbol dan zodiak yang mewakilinya berikut ini.

Aries: simbol zodiak pertama

Elemen: api
Planet: Mars
Batu: amethyst, berlian
Mineral: metal
Warna: merah
Karakteristik: aktif, inisiatif, suka memimpin, mandiri, agresif, tidak sabaran, energik, pemula, asertif dan terkadang naif.

Simbol di balik Aries: Domba jantan

Domba jantan bertanduk adalah simbol yang mewakili Aries. Simbol tersebut mengandung artian, kesuburan, agresif dan serangan, serta keberanian. Tanduk yang ada di kepala domba mewakili ambisi Aries untuk memimpin. Untuk itulah mereka terkadang keras dan tak suka dibantah.

Taurus: simbol zodiak ke dua

Elemen: tanah
Planet: Venus
Batu: Emerald
Mineral: tembaga
Warna: hijau
Karakteristik: gigih, keras kepala, posesif, dermawan, sensual, manja, patuh

Simbol di balik Taurus: Sapi bertanduk/ banteng

Simbol sapi bertanduk ini mewakili kekuatan, kekerasan hati, kejantanan dan kekuasaan. Pada umumnya mereka hidup sendiri, namun terkadang berkelompok. Mereka adalah sosok yang cinta damai, namun bisa seketika marah jika ada yang memancing emosinya.

Gemini: simbol zodiak ke tiga

Elemen: udara
Planet: Merkuri
Batu: Agate (akik)
Mineral: air raksa
Warna: kuning
Karakteristik: banyak bicara, mudah beradaptasi, fleksibel, mudah berubah, bertanggung jawab, mudah bersosialisasi, hanya memandang sesuatu dari luarnya saja

Simbol di balik Gemini: anak kembar

Simbol anak kembar dikenal sejak dahulu kala, menunjukkan adanya dua sisi dalam satu tubuh yang sama. Di mana juga melambangkan sebuah perubahan yang bisa terjadi dalam waktu yang sangat cepat, sebuah komunikasi, transaksi dan ide baru.

Transisi tercipta di dalam simbol kembar ini, dengan demikian si empunya zodiak sangat mudah berubah dan beradaptasi terhadap hal atau sesuatu yang baru.

Cancer: simbol zodiak ke empat

Elemen: air
Planet: Bulan
Batu: mutiara, opal
Mineral: perak
Warna: putih, kuning
Karakteristik: lembut, kolot, perasa, tertutup, keibuan, suka merenung

Simbol di balik Cancer: Kepiting

Kepiting adalah binatang yang berjalan miring, demikian simbol ini melambangkan zodiak Cancer yang memiliki kecenderungan sikap yang sangat berbeda dan unik. Mereka selalu menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Tergolong orang-orang yang melindungi diri sendiri, egois, sensitif dan tertutup. Mereka tak begitu suka akan perubahan, dan merasa nyaman dengan lingkungan yang sudah ada sejak lama.

Leo: simbol zodiak ke lima

Elemen: api
Planet: Matahari
Batu: ruby
Mineral: emas
Warna: oranye, emas
Karakteristik: murah hati, suka menolong, perhatian, aktif, hangat, terbuka dan suka memerintah

Simbol di balik Leo: Singa

Singa disebut-sebut sebagai raja hutan yang ditakdirkan menjadi pemimpin, demikian pula disimbolkan, karakter mereka yang bernaung di bawah zodiak Leo suka memerintah dan tak suka dikalahkan. Keberanian menjadi salah satu karakter dirinya, kekuatan dan kekuasaan selalu ada di dalam benak Leo.

Virgo: simbol zodiak ke enam

Elemen: tanah
Planet: Merkurius
Batu: safir
Mineral: air raksa
Warna: biru
Karakteristik: analitik, cerdas, kritis, suka menolong, teliti, pendiam

Simbol di balik Virgo: Wanita

Virgo dilambangkan oleh wanita perawan, di mana karakteristik dasarnya adalah sosok pemalu, lembut, bijaksana, dan alami. Mereka memiliki kecenderungan lebih suka hidup sendiri.

Libra: simbol zodiak ke tujuh

Elemen: udara
Planet: Venus
Batu: berlian
Mineral: tembaga
Warna: Hijau
Karakteristik: memiliki jiwa sosial yang tinggi, baik hati, mudah bergaul dan disukai, artistik, berwibawa, diplomatik

Simbol di balik Libra: Timbangan

Timbangan, alat yang digunakan untuk mengukur berat suatu benda. Dipercaya bahwa simbol ini merupakan lambang dari keseimbangan, keharmonisan dan keadilan. Mereka adalah sosok yang cinta damai dan hidup dalam lingkungan yang stabil.

Scorpio: simbol zodiak ke delapan

Elemen: Air
Planet: Mars
Batu: topaz, opal
Mineral: besi
Warna: ungu
Karakteristik: penuh gairah, posesif, fokus, sangat menggebu-gebu, memiliki rasa ingin tahu yang besar

Simbol di balik Scorpio: Kalajengking

Scorpio adalah binatang yang mematikan dan memiliki senjata di ekor dan di kedua tangannya. Mereka adalah sosok yang penuh emosi dan pendendam. Mereka juga sosok yang berani dan penuh kekuasaan.

Sagittarius: simbol zodiak ke sembilan

Elemen: api
Planet: Jupiter
Batu: topaz
Mineral: timah
Warna: Hijau Turquoise
Karakteristik: optimis, antusias, jujur, pendiam, mandiri, bertanggungjawab, blak-blakan, petualang sejati

Simbol di balik Sagittarius: Archer/ pemanah

Archer yang ada di dalam simbol Sagittarius ini adalah sosok Centaur, makhluk kuno setengah manusia dan berbadan kuda. Menunjukkan bahwa mereka adalah makhluk emosional yang penuh gairah, berani, bijaksana, dan selalu bergerak maju.

Capricorn: simbol zodiak ke sepuluh

Elemen: Tanah
Planet: Saturnus
Batu: onyx, amber
Mineral: Timah
Warna: Cokelat
Karakteristik: kolot, bijaksana, berambisi, konstan, disiplin, berhati-hati

Simbol di balik Capricorn: kambing jantan

Simbol kambing jantan ini melambangkan keras kepala yang luar biasa, mereka cenderung egois dan nyaman hidup sendiri. Mereka adalah sosok yang tertutup dan jarang berbagi perasaan dengan orang lain. Mereka memiliki gairah dan ambisi untuk selalu mencapai posisi puncak dan mendapat yang terbaik.

Aquarius: simbol zodiak ke sebelas

Elemen: udara
Planet: Uranus
Batu: Amethyst
Mineral: Uranium
Warna: Biru Langit
Karakteristik: mandiri, opini keras, idealis, pendiam, ramah, cerdas

Simbol di balik Aquarius: pembawa air

Simbol pembawa air adalah sosok yang sangat alami dan sangat spiritualis. Mereka adalah sosok dewasa yang cinta damai. Orientasi mereka adalah kemajuan dan perkembangan, untuk itu mereka adalah orang-orang yang gemar belajar dan sangat cerdas.

Pisces: simbol zodiak ke duabelas

Elemen: air
Planet: Neptunus
Batu: Giok/ koral
Mineral: timah
Warna: Biru laut
Karakteristik: memiliki intuisi yang tajam, simpatik, sensitif, lembut, mudah dipengaruhi

Simbol di balik Pisces: ikan

Pisces disimbolkan oleh dua ikan yang berenang berlainan arah. Simbol tersebut melambangkan karakter Pisces yang selalu bimbang dan tak mudah mengambil suatu keputusan. Namun mereka adalah orang yang sangat terbuka dan mudah menerima masukan atau kritik dari luar.

Intip Arti Mimpi Anda!

Mimpi dikatakan sebagai bunga tidur, penghias malam di saat Anda sedang beristirahat. Tetapi sebagian besar orang percaya bahwa mimpi adalah bisikan hati kecil yang memberikan suatu petunjuk saat kita bangun dan harus kembali beraktivitas. Mungkin di keseharian kita sedang mengalami masalah dan sedang bimbang, maka hati kecil memberikan pendapatnya melalui mimpi agar kita dapat keluar dari masalah.

Percaya atau tidak? Kita lihat saja yuk beberapa mimpi yang sering muncul di dalam tidur kita, dan apa sih kira-kira artinya?

1. Barang kesayangan Anda rusak

Jika semalam Anda bermimpi bahwa barang kesayangan Anda rusak, artinya secara umum adalah ada yang harus diperbaiki di dalam hidup Anda, berkaitan dengan benda yang disimbolkan di dalam mimpi Anda. Misal, jika Anda bermimpi Blackberry Anda terjatuh dan pecah, artinya Anda perlu memperbaiki komunikasi dengan seseorang, terutama yang sering berhubungan dengan Anda akhir-akhir ini.

2. Kehilangan atau menerima uang

Bermimpi menemukan atau mendapatkan uang artinya Anda akan bertemu rejeki yang Anda dambakan selama ini, suatu tujuan akan tercapai, Anda akan mendapatkan keuntungan atau sesuatu yang berharga akan Anda temui dalam waktu dekat.

Sedangkan bermimpi kehilangan uang, Anda akan belajar suatu hal yang penting di dalam hidup. Dan pada umumnya pengalaman itu sedikit pahit dan membuat Anda kecewa, namun tentunya akan sangat berharga dan berarti bagi kemajuan Anda.

3. Sedang ujian, sedang di ruangan kelas, sedang naik tangga, menyeberangi sungai, menyeberangi jembatan

Mimpi kali ini mengatakan bahwa ada ketakutan besar di dalam diri Anda untuk melangkah ke level yang lebih tinggi. Anda takut akan tantangan atau penghalang yang ada di depan Anda.

4. Ada yang sakit atau meninggal

Konon katanya jika kita bermimpi seseorang sedang sakit atau meninggal artinya ia berumur panjang. Tetapi ada arti lain yang mungkin belum Anda ketahui. Saat mimpi itu menggambarkan seseorang atau diri kita sedang sakit atau meninggal, menandakan sebuah perubahan besar di dalam hidup. Mungkin sebuah pelajaran baru yang membuat Anda dewasa, cara hidup Anda atau suatu perubahan cukup mendasar lainnya. Tetapi tentunya tidak ada salahnya lebih memperhatikan soal kesehatan jika kita mengalami mimpi tersebut.

5. Dikejar atau sedang berlari

Mimpi sedang berlari atau sedang dikejar berarti Anda sedang dikuasai oleh stres Anda. Ada tanggung jawab besar yang membuat Anda merasa tertekan sampai terbawa ke alam mimpi. Sebaiknya sebelum tidur Anda mengambil posisi senyaman mungkin, telentang adalah posisi terbaik. Minum susu putih hangat sebelum tidur agar Anda merasa lebih tenang. Usahakan Anda dalam keadaan rileks saat akan beristirahat.

6. Bermimpi soal gigi (patah atau tumbuh)

Gigi mewakili kedewasaan, kebijaksanaan, keseimbangan emosi di dalam diri. Saat Anda bermimpi gigi Anda patah atau tumbuh, hal ini berkaitan erat dengan perkembangan diri Anda, perasaan Anda dan hubungan dengan orang yang ada di sekeliling Anda. Bisa jadi merupakan peringatan bagi Anda untuk berpikir lebih dalam tentang suatu keputusan yang Anda ambil.

7. Bermimpi sedang telanjang

Bukan berarti mimpi basah lho ya, tetapi mimpi ini kerap dialami ketika Anda merasa sedang diekspose dan diperhatikan terlalu berlebihan, sementara diri Anda membutuhkan privasi untuk melewati fase-fase sulit di dalam hidup Anda.

8. Bermimpi terjatuh, terbang atau tenggelam

Ketiganya sebenarnya merupakan diri Anda yang sedang menyelami alam bawah sadar Anda sendiri. Ketika Anda bermimpi jatuh atau tenggelam, maka Anda sedang menyelami pikiran terdalam Anda, perasaan dan kenangan Anda di masa lalu yang mungkin menghantui Anda. Sedangkan jika Anda bermimpi sedang terbang, maka Anda berhubungan dengan alam, hal-hal spiritual, energi yang besar, yang bisa saja Anda temui tanpa Anda sadari.

9. Air

Ada dua kondisi air di dalam mimpi kita, yang pertama: badai, hujan deras, banjir, ombak besar, hal ini menunjukkan tentang perasaan yang sedang kita rasakan, situasi emosional yang menantang dan berapi-api. Ini biasa terjadi jika Anda sedang dalam kondisi emosi atau marah.

Sebaliknya kondisi kedua adalah: air tenang, pantai, danau, menunjukkan keadaan emosi Anda yang tenang dan cerita cinta Anda yang berjalan mulus.

10. Terlambat, ketinggalan kereta

Kondisi mimpi ini menunjukkan kurangnya motivasi di dalam hidup Anda, sehingga Anda perlu mendorong diri sendiri untuk melakukan hal-hal lebih baik lagi, lebih disiplin, lebih cermat, dan bersemangat.

Kamis, 22 Oktober 2009

NASIKH WAL MANSUKH

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa artinya menghapus, dan sering diartikan memindahkan. Sedangkan menurut istilah nasikh yaitu menghapus sesuatu yang sudah tetap dalam syari’at dengan dalil yang datang kemudian.

B. Perbedaan Nasikh, Takhshish dan Bada’.
Disamping masalah nasikh, muncul juga isu lain, yaitu takhshia dan bada’ yang telah akrab dengan kita sewaktu mempelajari nasikh, yang dipahami secara keliru oleh kaum yahudi dan nasrani bahwa bada’ itu mustahil bagi Allah Swt. Sementara ini yang populer dan paling banyak membicarakan tentang bada’ adalah madzhab Imamiyah. Karena itu, kita melihat sebagian saudara kita, para ulama Ahlusunah, mencap saudara Imamiya mereka dengan tuduhan yang tidak baik. Mereka mencapnya sesat dan menyimpang dari pada yahudi dan nasrani yang menolak nasikh, sebab mereka menolak nasikh untuk menyucikan Allah Swt dari sifat-sifat kekurangan. Sementara Imamiyah menisbatkan bada’ kepada Allah Swt bahwa menuduh Allah itu tidak tahu dan memiliki kekurangan.
Pengertian bada’ yang dipahami oleh orang yahudi dan nasrani yaitu berkenaan dengan qudrah Allah Swt, yang juga dibantah oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 64, yang artinya: “ orang-orang yahudi berkata: ‘tangan Allah terbelenggu, sebenarnya tangan mereka yang terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan, (tidak demikian) tetapi kedua tangan Allah itu terbuka. Dia manafkahkan sebagaimana Dia kehendaki….”
Ringkasan kesalahpahaman ini adalah bahwa kalau Allah menciptakan sesuatu dan titah-Nya berlaku atasnya, maka adalah sangat mustahil bagi Allah untuk mengubahnya lagi. Misalnya adalah, ketika Dia menciptakan hukum gravitasi bumi. Maka, Dia menjadi tidak berkuasa lagi dan tidak berdaya dengan hukum ini sehingga tidak bisa mengubah atau menghapusnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Shadiq as, “mereka tidak menyangka kepada Allah begitu tetapi berkata bahwa Ia telah menyelesaikan tugasnya dan tidak bisa menambahi dan menguranginya”.
Sedangkan bada’ yang diyakini oleh Imamiyah adalah gagasan tentang perubahan dan penghapusan di alam raya ciptaannya, yang sesuai dengan surat Al-Maidah ayat 64 yang artinya: “tetapi kedua tangan-Nya terbuka lebar. Ia menginfaqkan apa yang Ia kehendaki, serta ayat “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan dari sisi-Nya induk segala kitab”. Gagasan ini meyakini ilmu Allah yang mengatasi segala-galanya ke masa depan dan ke masa lalu, Ia berkuasa menambahi, mengurangi dan mengubah. Allah juga maha berkuasa untuk mendahulukan atau menunda dan mengganti.
Sedangkan takhshis berarti menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum, ketika tidak ada yang menakhshis (orang yang mempergunakan takhshis).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara nasikh, takhshis dan bada’ adalah, nasikh adalah kekuasaan atau kehendak yang dimiliki oleh Allah dan hanya suatu pertentangan satu ayat dengan yang lain dalam kejelasan lafadznya, bada’ adalah kekurangan atau hal yang menentang adanya nasikh sedangkan takhshis adalah bagian dari pada nasikh yang berarti mengkhususkan sesuatu yang umum.

C. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh Mansukh
Ayat yang menjadi dasar adanya nasikh :
               •      
Artinya : “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
1. Syarat-Syarat Nasakh
Untuk diterima adanya nasakh diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
- Yang dinasakh (mansukh) itu adalah hukum syara’, yang bukan sesuatu yang zatnya memang diwajibkan.
- Nasikh (yang menghapus) harus dalil-dalil syara’.
- Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya : “Makan dan Minumlah kamu sehingga terang / tampak olehmu benang putih dari benang hitam, ialah fajar”.
- Nasikh harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak dapat menghapuskan yang kuat.
- Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian setelah mansukhnya,
- Nasikh (yang menghapus) harus hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.
- Nasikh dapat diketahui benar-benar sebagai nasikh dengan mengetahui adanya penjelasan dan lafadz yang menunjukan pembatalan.
- Adanya pertentangan antara dua dalil yang tidak bisa dikumpulkan antara dua buah dalil yang bertentangan, maka tidak ada boleh nasakh.

D. Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Nasikh Dan Mansukh.
Banyak sekali pendapat-pendapat yang dikemukakan tentang ada dan tidaknya nasikh dan mansukh ini baik dari para ulama, ahli tahqiq, ahli tafsir dan lain sebagainya, akan tetapi pada intinya, sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafal nasikh kembali kepada membatasi makna kata secara etimologi dan membatasi makna kata secara terminology. Perbedaan pendapat dalam menetapkan definisi nasikh, telah membayangkan kepada kita beberapa macam perselisihan yang lain dalam pokok pembicaraan ini.
Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnul Hashshar, yang harus kita pergunakan untuk menetapkan nasikh dan mansukh agar diantara kita sekalian tidak ada pertentangan seperti yang terjadi diantara para ulama, ialah nukilan yang tegas dari Rasulullah Saw atau dari sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan ayat ini, dinasakhkan oleh ayat itu. Dan juga kita dapat menetapkan kemansukhan suatu ayat, apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita mengetahui mana ayat yang terdahulu dan mana yang kemudian.
Dalam masalah nasakh kita tidak dapat berpegang kepada pendapat ahli-ahli tafsir, tidak pula kepada ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan yang nyata, karena nasikh berarti mengangkat suatu hukum yang telah tetap di masa Nabi.
Para muhaqqiq menandaskan, bahwa kebanyakan ayat yang disangka oleh ahli tafsir mansukhah atau nasikhah, sebenarnya hanya pengangguhan hukum, atau suatu kemujmalan yang ditunda penjelasannya sampai kepada waktu dirasa perlu atau untuk yang khusus.

E. Macam-Macam Nasikh Dalam Al-Qur’an.
Para ulama ushul membagi nasikh kepada beberapa macam, antara lain:
1. Yang dinasikh dalam kitab bacaannya, tetapi hukumnya tetap, misalnya dalam ayat yang artinya “orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, jika berzina rajamlah keduanya tidak boleh tidak”. Ayat ini tidak ada pada bacaan, karena dihilangkan (dinasakh), tetapi hukumnya tetap, sebab sesudah itu nabi saw merajam orang yang muhshan. (hr. Bukhari dan muslim).
2. Dinasakh hukumnya, tetapi bacaannya tetap, seperti ayat:
       ••      
Artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya”. (QS. Al-Baqarah : 240).
Dari ayat ini dipahamkan bahwa ‘iddah wafat itu satu tahun lamanya, tetapi kemudian dinasakh dengan ayat:
           
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”(QS. Al-Baqarah : 234)
3. Dinasakh bacaan beserta hukumnya bersama-sama: misalnya hadits Muslim dari Aisyah r.a yang menyatakan bahwa: “ Menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”. “kemudian dinasakhkan dengan lima kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”.
Tegasnya, dahulu pernah diturunkan bahwa sampai mengharamkan antara anak dan ibu susuan itu apabila telah sampai sepuluh kali susuan. Kemudian dinasakh dengan ayat yang menerangkan lima kali susuan sudah cukup menjadi batas bagi haramnya antara anak susuan dan ibu susuan.
4. Nasikh kitab dengan sunnah, misalnya firman Allah Swt:
        • .... 
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah : 180)
Kemudian dinasakh oleh hadits Nabi Saw yang artinya: “Tidak dianggap sah berwasiat untuk ahli waris”. (HR. Turmudzi dan ibn Majah)
5. Nasakh sunnah dengan sunnah, misalnya hadits Muslim yang menyatakan: “Dahulu aku telah melarang ziarah kubur, maka sekarang bolehlah engkau menziarahinya”.
Dan didalam contoh yang lain, Nabi Saw pernah berkata: “Janda yang berzinah dengan duda (dihukum) jilid 100 kali dan rajam”. Kemudian Nabi Saw pernah merajam Ma’iz dan tidak menjilidnya. Perbuatan Nabi terhadap Ma’iz ini berarti menghapus hukum yang terdapat dalam hadits yang pertama.
6. Nasakh sunnah dengan kitab, misalnya menasakh menghadap ke baitul maqdis: “Bahwasanya Nabi Saw, menghadap baitul maqdis dalam shalat enam belas bulan” (sepakat Ahli Hadits).
Dinasakh oleh ayat:
       •                 •               
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah :144)
7. Nasakh dalam Al-Qur’an.
Memang dalam hal ini ada dua pendapat dikalangan ulama ushul, yaitu:
a. Golongan yang membenarkan adanya nasakh dalam al-qur’an
Golongan pertama yang dipelopori oleh Asy-Syafi’I, An-Nahhas, As-Sayuti dan Asy-Syaukani. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah:
               •      
Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
Dan dalam Surat An-Nahl ayat 101:
   •                
Artinya: “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui”(QS. An-Nahl : 101)

b. Golongan yang menolak adanya nasakh dalam al-qur’an
Adapun golongan kedua yang menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada nasikh mansukh, mereka ialah: Abu Muslim Isfani, Al-Fakhrur Razi, Rasyid Ridla, dan Muhammad Abduh. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah Swt:
                
Artinya: “ Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya”(QS. Al-Kahfi : 27)
Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merubah firman-firman Allah.

F. Hikmah Keberadaan Nasikh Dalam Al-Qur’an.
1. Memelihara kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan tasyri’ itu kepada tingkat yang sempurna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan keadaan orang banyak.
3. Mencoba mukallaf dan melakukan percobaan-percobaan dengan mengikuti perintah dan meniadakannya.
4. Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya.

TALAK

A. Definisi Talak
Talak berasal dari kata “ithlaq” yang artinya secara harfiyah atau bahasa berarti perpisahan, melepaskan, lepas atau bebas. Sedangkan secara terminologis berarti melepaskan ikatan suami isteri yang sah oleh pihak suami dengan lafal tertentu atau yang sama kedudukannya seketika itu atau masa mendatang. Dan di dalam undang-undang no. 1 tahun1974 pasal 117 talak berarti “ikrar suami di hadapan siding Pengadilan Agam yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang telah di atur”.

B. Macam-Macam Talak
Macam-macam talak ini dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1. Talak dilihat dari segi Sighat (ucapan)
Sighat talak adalah bentuk kalimat yang diucapakn seorang lelaki untuk menunjukan pelepasan ikatan suami istri dan mewujudkan perkataannya dengan perbuatan. Ada kalanya berupa kalimat terang-terangan dan ada kalanya sindiran.
a. Talak yang terang-terangan
b. Talak dengan sindiran (kinayah)
2. Talak dilihat dari tempat kejadian
a. Talak munjaz, Ialah talak yang kalimatnya tanpa disertai syarat dan penetapan waktu.
b. Talak mudhaf, yaitu bentuk kalimat talak yang berkaitan dengan masa jatuhnya talak di waktu itu apabila telah tiba.
c. Talak muallaq, ialah talak yang berlakunya dikaitkan oleh suami dengan suatu perkara yang terjadi di masa mendatang.
3. Talak dilihat dari segi keadaan isteri.
a. Talak sunni, yaitu talak yang diperbolehkan ketika suami menjatuhkan talak itu kepada si isteri, ketika si isteri tidak dalam keadaan haid, hamil dan tidak dipergauli pada waktu suci.
b. Talak bid’i, yaitu talak yang dilarang bilamana talak itu dijatuhkan oleh suami ketika si isteri dalam keadaan haid, nifas atau dalam keadaan suci namun dalam waktu itu telah dicampuri oleh suaminya.
4. Talak dilihat dari segi kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan isterinya.
a. Talak raj’i, adalah talak kesatu dan kedua, dimana suami berhak rujuk dengan isterinya selama masih dalam masa iddah.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan ayat 229, yakni:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki perdamaian”. (QS. Al Baqarah : 228)
         ...
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”(QS. Al Baqarah : 229).
b. Talak ba’in, yaitu talak yang memisahkan isteri dari suaminya secara final sehingga tidak memungkinkan suami kembali kepada isterinya kecuali dengan nikah baru. Talak ba’in terbagi menjadi dua macam:
- Talak ba’in sughra, ialah talak satu dan dua yang tidah boleh dirujuk tapi boleh nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
- Talak ba’in kubra, ialah talak tiga baik sekali ucapan atau berturut-turut, talak ini menyebabkan si suami tidak boleh kembali kepada isterinya meskipun dengan nikah baru, kecuali bila isterinya itu telah menikah dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis pula masa iddahnya.




C. Syarat Talak
1. Suami yang mentalak adalah seseorang yang telah dewasa dan sehat akalnya dan ucapan talak yang dikeluarkannya adalah atas dasar kesadaran dan kesengajaannya
2. Perempuan yang ditalak adalah isterinya atau orang yang secara hukum masih terikat dengannya.
3. Shighat atau ucapan talak yang dilakukan oleh suami kepada isterinya, baik secara lisan ataupun tulisan yang dapat dipahami dengan perantara orang lain, bahkan dapat pula dengan isyarat orang yang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang melihat dan mendengarnya.
4. Adanya dua orang saksi, agar dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum atas kesaksiannya.
5. Undang-undang di dunia Islam yang telah menetapkan perceraian itu mesti di pengadilan.

D. Sifat Talak
Ketentuan dalam pasal 41 UUP sifat talak ini memang lebih bersifat global, dan kompilasi merincinya dalam empat kategori, akibat cerai talak, cerai gugat, akibat khulum, akibat li’an dan yang terakhir menurut hemat penulis yang tidak mendapat penekanan khusus adalah akibat kematian suami.

E. Hukum Talak
Pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh. Walaupun hukum asal dari talak itu makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu maka hukum talak itu adalah sebagai berikut:
1. Nadab/sunat, yaitu bila keadaan rumah tangga sudah tidak bisa dilanjutkan dan seandainya dipertahankan maka akan timbul kemudaratan yang lebih besar diantara kedua belah pihak.
2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadinya perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu dan manfaatnya ada.
3. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli isterinya sampai masa tertentu, serta ia tidak mampu pula membayar kaffarat sumpah. Dan tindakan ini memudaratkan bagi isteri.
4. Haram talak itu dilakukan tanpa alasan sedangkan isterinya dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah di gauli.

F. Akibat dan Hikmah yang Timbul dari Perceraian
Akibat yang mungkin akan timbul dari adanya perceraian bisa beraneka ragam tergantung kepada kemampuan suami atau istri dalam menyikapi dan memecahkan permasalahan yang akan timbul setelah terjadinya perceraian tersebut. Tetapi akibat yang timbul secara umum dari adanya perceraian tersebut, kebanyakan berdampak kurang baik terutama bagi kehidupan mereka yang sudah mempunyai keturunan/anak karena untuk mendidik anak diperlukan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua.
Walaupun talak itu dibenci namun ada saja hikmah yang dapat diambil seperti dalam rangka menolak terjadinya kemudharatan yang lebih besar, dengan demikian talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan mashlahat.

AKAL DAN WAHYU

A. PENDAHULUAN
Banyak hal yang menarik dari doktrin akidah Islam. Doktrin Islam selama ini telah membentuk cara pandang serta cara berpikir umatnya. Cara berpikir dengan akal ataupun interpretasi terhadap wahyu Ilahiah akan membentuk kesadaran serta perilaku. Lalu dengan realitas umat islam saat ini, timbul suatu paradoks yang membuat kita harus melakukan interprestasi ulang terhadap sistem berpikir (akal) maupun wahyu Ilahiah dalam konteks keseharian.
Memang kita dapati pada setiap bangsa dan di semua zaman, bahwa banyak orang dilemparkan oleh karena kekurangan ilmu pengetahuannya dan kelalaiannya sendiri keluar dari pantai keyakinan, sehingga ia jatuh kedalam lembah keraguan.

B. PEMBAHASAN
1. AKAL
1.1 Definisi Akal
Manusia umumnya dikonsepkan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq). Daya berfikir, yang dalam falsafah islam dikatakan sebagai salah satu daya yang dipunyai oleh roh, disebut akal. Akal dipandang sebagai esensi manusia. Bahkan dalam pandangan islam, seseorang baru dikatakan mukallaf (orang yang sudah dibebani kewajiban-kewajiban agama), salah satu dasarnya adalah bila seseorang itu sudah berakal.
Di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali telah menjelaskan bahwa perkataan akal ini digunakan untuk menunjukan kepada empat makna, yaitu:
1. Akal adalah sifat yang membedakan manusia dari pada hewan.
2. Akal adalah ilmu pengetahuan yang timbul kealam wujud pada diri kanak-kanak yang dengannya ia dapat membedakan tentang mungkinnya perkara yang mungkin dan mustahilnya perkara yang mustahil.
3. Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pada pengalaman dengan berlakunya macam-macam keadaan.
4. Akal sebagai kekuatan daripada instinct yang berkesesudahan kepada mengetahui akibat dari pada segala perkara dan mencegah serta menundukan hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan sesaat.
Apabila seseorang telah memiliki kekuatan seperti itu, maka ia disebut berakal. Segala gerak langkahnya mengikuti kepada kehendak pertimbangan akan akibat-akibatnya, tidak mengikuti kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan menurut Hamka akal ialah anugrah Tuhan kepada makhluk yang dipilihn-Nya, yakni manusia. Sebagai anugrah terhadap makhluk pilihan, akal menjadi dasar yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Perbedaan itu di letakkan oleh Tuhan pada pemberian akal, telah memberikan potensi kepada manusia untuk meneliti dan mencari rahasia yang tersembunyi. Dengan akal itulah manusia dimungkinkan untuk melakukan perenungan, dan pada gilirannya mampu melakukan penelitian.
Sebagai pemberian Tuhan, akal mempunyai kebebasan untuk mencari, kendatipun kawasan pencarian akal itu hanya sebatas wilayah yang dapat dijangkaunya. Dengan akal manusia mempunyai kecerdasan yang memberikan kemampuan untuk menilai dan mempertimbangkan dalam pelaksanaan perbuatan manusia sehari-hari.
Al-Qur’an selalu menekankan agar manusia beriman dengan menggunakan pikiran. Allah Swt telah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 179 yang artinya:
“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, karena mereka mempunyai akal tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”
Dan ditegaskan dalam hadits Nabi Saw yang di riwayatkan oleh Ibn al-Mahbar dan Tirmidzi, yang artinya:
“bahwa Nabi Saw telah bersabda kepada Abu al-Darda: “Lebihkanlah akal anda supaya anda lebih dekat dengan Tuhan anda”. Abu al-Darda berkata: “Demi ibu bapakku ya Rasulullah, bagaimana aku boleh melakukan yang demikian?”. Beliau menjawab: “Jauhilah semua yang diharamkan oleh Allah Swt dan kerjakanlah semua yang diwajibkan oleh-Nya, maka anda akan menjadi orang yang berakal, kerjakanlah amal-amal saleh, niscaya anda akan bertambah kedekatan dengan Tuhanmu “azza wa jalla dan kemuliaan di hari yang akan datang”.
Jadi, akal adalah nikmat yang diberikan Allah Swt kepada manusia yang sangat besar dan patut kita syukuri, dan Allah Swt merintah agar kita senantiasa menjaga, memelihara dan menggunakannya.

1.2 Fungsi Akal
- Sebagai alat untuk membedakan atau menilai baik buruknya sesuatu, maka akal mempunyai peranan dalam membentuk sifat-sifat yang baik di dalam jiwa manusia, disamping menghilangkan sifat-sifat yang buruk daripadanya.
- Membentuk pengertian dan merumuskan pendapat, maka akal mempunyai peranan dalam menjadikan manusia mempunyai kesediaan untuk menerima atau memperoleh ilmu pengetahuan dan mengumpulkan pengalaman.
- Membuat kesimpulan, akal mempunyai peranan dalam membentuk kekuatan pada diri manusia untuk mengekang syahwat dan menjauhi segala perkara yang merugikan dan membahayakan.

2. Wahyu
2.1 Definisi Wahyu
Wahyu adalah kata masdar yang berarti berita, baik berita itu disampaikan secara lisan ataupun tulisan. Pendeknya segala berita yang disampaikan kepada orang lain supaya orang itu mengetahuinya. Dan kemudian kata wahyu itu dibiaskan pemakaiannya kepada segala berita yang disampaikan dari Allah kepada para nabi. Dan ada pula yang mengatakan, bahwa wahyu itu pemberitahuan secara rahasia (isyarat) tetapi yang dimaksudkan adalah isi berita.
Adapula yang mengatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah Swt baik dengan sesuatu perantara ataupun tidak.
Para ahli telah memberikan definisi secara istilah, bahwa wahyu adalah pemberitahuan Allah Swt kepada Nabi diantara nabi-nabi-Nya tentang hukum syara’.
Menurut Hamka wahyu adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada nabi-nabi. Para nabi sebagai menusia utama, menerima pengetahuan tersebut dari Tuhan dengan cara penerimaan langsung melalui perantara malaikat, atau dengan cara mendengar suara ataupun tidak, tetapi para nabi paham betul bahwa apa yang mereka terima itu berasal dari Tuhan.

2.2 Fungsi Wahyu
Fungsi wahyu yang pertama menurut Hamka adalah memberi tahu kepada manusia siapa Tuhan yang sebenarnya itu. Hal ini dijelaskan oleh Hamka dengan mengatakan bahwa “kedatangan agama ialah menuntun dan menjelaskan bahwa Dia memang satu adanya” dan lewat tuntunan wahyu itu pula, Dia yang satu itu dikenal oleh manusia dengan nama Allah yang bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim.
Fungsi wahyu yang kedua, adalah memberi tuntunan bagi manusia apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain, setelah dituntun para nabilah manusia baru mengetahui bahwa bila ia melakukan kebaikan, manusia akan diberi ganjaran pahala, dan apabila ia melakukan kejahatan, maka kepadanya akan diberikan siksaan dan azab.
Dengan demikian fungsi wahyu pada intinya ialah pemberi informasi tentang kewajiban berterima kasih kepada Allah Swt serta kewajiban untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

3. Pemahaman Beberapa Aliran Dalam Islam Mengenai Akal Serta Fungsi Wahyu.
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks manakah diantara keduanya, akal ataukah wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu aliran Maturidiyyah Samarkand yang juga termasuk penganut pemikiran kalam rasional mengatakan bahwa kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah dan Maturiddiyah Samarkand untuk menopang pendapat mereka adalah surat Fushlihat ayat 53, surat Al-Ghasiyah ayat 17 dan surat Al-A’raf ayat 185.
Bagi aliran kalam rasional, karena akal manusia sudah mengetahui empat hal yang disebutkan di atas maka wahyu disini berfungsi memberikan konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Menurut mereka bukan berarti wahyu tidak perlu, wahyu diperlukan untuk memberitahu manusia bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, dan menyempurnakan pengetahuan akal serta menjelaskan perincian hukuman yang akan diterima manusia di hari akhir.
Sedangkan aliran Asy’ariyyah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih, baik dan buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang buruk, itu diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui dengan akal. Sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bagi aliran kalam tradisional untuk memperkuat pendapatnya adalah surat Al-Isra’ ayat 15, surat Thaha ayat 134, surat An-nisa ayat 164 dan surat Al-Mulk ayat 8-9.
Bagi aliran kalam tradisional, karena mereka memberikan daya yang lemah kepada akal, fungsi wahyu bagi aliran ini sangat besar. Tanpa diberitahukan oleh wahyu, manusia tidak mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, serta kewajiban-kewajibannya yang harus dilakukan sebagai hamba.

4. Korelasi Antara Akal dan Wahyu
Setelah kita memahami definisi serta fungsi dari akal dan wahyu tersebut maka keduanya mempunyai suatu korelasi yang sangat mengikat. Akal yang dipandang sebagai esensi manusia yang berdaya untuk berfikir serta wahyu yang di artikan sebagai berita atau informasi yang diberikan oleh Allah Swt kepada orang pilihan dan disampaikan kembali kepada yang lainnya. Lewat tuntunan wahyulah diperolehnya suatu petunjuk dan akal sebagai alat berfikir manusia berguna untuk menafsirkan wahyu yang telah diturunkan, walaupun akal pada dasarnya sangat terbatas daya jangkaunya dan yang dihasilkannya pun akan relative sehingga terjadinya keragaman pemaham tentang isi wahyu itu yang ditafsirkan oleh akal

ISTIHSAN

A. Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik atau mencari yang baik, dan ini bisa bersifat lahiriah ataupun maknawiah. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Proses ‘meninggalkan’ itulah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
B. Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
1. berdasarkan dalil yang melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
a. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)

b. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
c. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
d. Istihsan dengan ‘urf atau konsekuensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.
2. berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut terhadap qiyas. Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
a. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
b. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
c. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
d. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.



C. Kehujjahan Istihsan
Menyikapi kehujjahan dalam penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
• Bolehnya masuk ke dalam hammam[18] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
• Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut.
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial. Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.

Jumat, 16 Oktober 2009

Hadits Tentang Tabungan

“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persayaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)

Ijma’. Diriwayatkan sejumlah sahabat menyerahkan (kepada mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu)

Pada saat ini, kebutuhan masyarakat akan sebuah lembaga, dalam hal ini bank, yang dapat menyimpan harta mereka sangat dibutuhkan. Karena tidak mungkin seseorang yang memiliki harta dalam jumlah yang sangat besar menyimpan di rumah atau di bawah bantal. Sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan meresahkan keamanan.

Selain itu, harta yang disimpan di bank dapat diproduktifkan bagi mereka yang memiliki keahlian tetapi kurang dalam modal. Sehingga tolong-menolong dalam kebaikan dapat diwujudkan. Yang penting, dlam menyimpan uang tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Maka menyimpan di bank syariah suatu kemestian, karena bank syariah-lah yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bukan bank yang lain. Ingat bank syariah. Wallaahu a’lam (zar)

Hadits Anjuran Melunasi Utang Bagi Yang mampu

Rasulullah Saw bersabda: “Menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezhaliman, dan bila seorang dari kamu utangnya dialihkan ke orang kaya, maka hendaklah ia menerima.” (Shahih Muslim No. 2924)

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah.” (Riwayat Ibnu Majah, Ad-Darimy, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al-Albani)

Islam sangat memperhatikan hubungan muamalah antara umatnya, agar satu dengan yang lain tidak merasa terdzolimi atau mendzolimi. Begitu pula dalam pelunasan hutang, Islam sangat menganjurkan agar seseorang yang memiliki hutang kepada seseorang agar segera untuk melunasinya, jangan ditunda-tunda jika memang mampu untuk membayar hutang tersebut.

Hal ini tercermin dalam sabda Rasulullah saw di atas, bahwa seseorang yang mampu untuk melunasi hutangnya, namun menunda-nundanya bisa dikatakan bahwa orang tersebut termasuk dari orang-orang yang dzolim.

Perlu diperhatikan bahwa apabila dalam hidup ini seseorang masih memiliki hutang yang belum terlunaskan, maka dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan penjelasan, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi)

Mudah-mudahan kita semua terbebas dari hutang, dan segera melunasinya jika masih memiliki hutang. Wallaahu a’lam (zar, pkesinteraktif.com)

Prinsip Ekonomi Syariah dengan Akad Musyarakah

Kata musyarakah di dalam bahasa Arab berasal dari kata syaraka yang artinya pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian yang ditentukan. Musyarakah dapat juga di artikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberi kontribusi dana atau keahliannya dengan kesepakan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama.

Para Ulama dari Mazhab Hanafi mendefinisikan musyarakah sebagai akad di antara rekanan/partner pada modal dan profit, disebut juga sebagai syirkah al-aqad atau contractual partnership.

Para Ulama dari Mazhab Shafi’i mendefinisikan musyarakah sebagai konfirmasi dari hak bersama dari dua orang atau lebih terhadap sebuah properti atau di sebut juga syirkah al-mulk.

Para Ulama dari Mazhab Hanbali mendefinisikan musyarakah sebagai hak bersama dan kebebasan untuk menggunakan hak tersebut.

Sedangkan para uLama dari Mazhab Maliki mendefiniskannya sebagai pemberian izin untuk bertransaksi, di mana setiap orang dari pada rekanan tersebut mendapat izin untuk melakukan transkasi dengan menggunaka properti bersama, sementara itu pada saat yang bersamaan masih memiliki hak untuk bertransaksi pada pihka lain dengan menggunakan properti yang sama.

Dari semua definisi-definisi musyarakah tersebut di atas, definisi dari mazhab Hanafilah yang lebih bisa menjelaskan essensi dari transaksi modern mengenai kontrak kerjasama usaha/ bisnis partnership, dimana bentuk kerjasamanya adalah profit-and-loss-sharing (PLS). Pada sistim kerjasama PLS ini, untung dan rugi di tanggung bersama.


Legalitas dari Musyarakah


Sumber legalitas dari Musyarakah adalah Al-Qur’an dan Sunnah:


1.Al-Qur’an: tafsir dari surat Al Maidah, ayat 2:


“tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa”.

Maksud dari pada ayat ini adalah Allah SWT telah berfirman agar manusia saling tolong menolong dan bersama-sama berusaha untuk suatu tujuan yang baik , dengan kata lain Musyarakah adalah sebuah bentuk usaha atas dasar saling tolong-menolong antara sesama manusia dengan tujuan mendapatkan profit/laba, oleh sebab itu Prinsip dari musyarakah ini sangat dianjurkan dalam agama Islam.


2.Al-Qur’an: tafsir dari surat Al-Sad ayat 24 :

“ dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali kepada orang–orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini”.

Penggalan dari ayat Al-Qur’an ini mendukung keberadaan prinsip dari pada musyarakah, dimana setiap partner dalam bisnis haruslah mempunya akhlak yang baik pada saat melakukan usaha bisnisnya.

3.Sunnah: Nabi Muhammad SAW dalam bentuk hadist qudsi mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

“ Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya”.

Hadist ini memberikan indikasi bahwa Allah akan selalu menjaga setiap bisnis partner beserta usaha/bisnis bersama mereka. Untuk itu setiap Muslim dianjurkan untuk dapat melakukan kerjasama bisnis, dengan catatan setiap mitra/partner adalah orang yang jujur dan menghormati hak masing-masing dari para mitra bisnisnya.

Syarat dan ketentuan dari musyarakah,

Syarat dari akad, yaitu ketiga rukun akad harus terpenuhi:

  1. Sighah / Ijab dan qabul
  2. Pihak-pihak yang berkontrak
  3. Subject matter/Modal dan kerja

Ketentuan mengenai modal:

1.Kontribusi modal dapat berbentuk tunai, emas,perak atau benda lain yang nilai nya sama dengan tunai,emas atau perak. Jumhur Ulama telah sepakat akan hal ini dan tidak ada perdebatan mengenai modal untuk aqad musyarakah ini.

2.Modal dapat berbentuk komoditi, properti atau equipment, dapat pula berbentuk intangible right atau trademark, dan hak yang serupa dengan catatan nilai dalam bentuk tunai nya sama dengan yang sudah di sepakati di antara partner/mitra bisnis.

Para Ulama dari Mazhab Shafi’i dan Maliki mensyaratkan bahwa modal harus di campur agar tidak terjadinya perlakuan hak istimewa dalam pengelolalan bisnis diantara para mitra.

Sedangkan para ulama Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan kondisi ini apabila modal dalam bentuk tunai, sementara Para Ulama Mazhab Hanbali tidak menentukan keharusan untuk pencampuran modal.

Jenis-jenis akad musyarakah

Musyarakah di bagi dalam 2 jenis: syirkah al-inan atau unequal-shares partnership, dan syirkah al-mufawadah atau equal-shares partnership.

1.Syirkah al-Inan, dimana dua orang atau lebih memberikan penyertaan modalnya dengan porsi yang berbeda, dengan bagi hasil keuntungan yang di sepakati bersama, dan kerugian yang di derita akan di tanggung sesuai dengan besarnya porsi modal masing-masing. Dalam hal pekerjaan dan tanggung jawab dapat di tentukan dengan kesepakatan bersama dan tidak tergantung dari porsi modalnya. Begitu juga dengan keuntungan yang di dapat, tidak tergantung dari porsi modal, tapi disesuaikan dengan perjanjian dimuka.

Setiap mitra pada syirkah al-inan ini bertindak sebagai wakil daripada mitra yang lainnya dalam hal modal dan pekerjaan yang di lakukan untuk keperluan transaksi bisnisnya. Setiap mitra tidak saling memberikan jaminan pada masing masing mitra bisnisnya. Akad musyarakah ini tidak mengikat dan pada saat tertentu, setiap partner/mitra bisnis berhak memutuskan untuk mengundurkan diri dan membatalkan kontrak kerjasama ini dan menjual sahamnya kepada mitranya atau pihak yang lain yang bersedia menjadi mitra baru dari usaha bisnis tersebut.

2.Syirkah al-mufawadah, pada musyarakah jenis ini, setiap partner menyertakan modal yang sama nilainya, mendapatkan profit sesuai dengan modalnya, begitu juga dengan kerugian, ditanggung bersama-sama sesuai dengan modalnya. Para Ulama dari Mazhab Hanafi mengatakan bahwa setiap partner saling menjamin/garansi bagi partner yang lainnya. Para Ulama dari Mazhab Hanafi dan Zaidi memandang ini sebagai bentuk partnership yang legal. Sementara para ulama dari mazhab Shafi’i dan Hanbali memandang bahwa yang dipahami oleh mazhab Hanafi adalah illegal dan tidak mendasar. Pada applikasi modern jenis syirkah ini dapat diimplementasikan sepanjang hak dan kewajiban dari masing-masing partner disebutkan pada perjanjian kontrak kerjasamanya. Sesungguhnya syirkah jenis mufawadah sangat sulit diapplikasikan karena mulai dari modal, kerja dan keahlian dari setiap partner dalam mengelola bisnis harus semuanya sama porsinya.


Dilihat dari modal dan jenis pekerjaannya, Musyarakah dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok:

1.shirkah al-amwal: modal dalam bentuk uang dimana setiap partner menempatkan dananya untuk keperluan investasi pada suatu perusahaan komersil.

2.shirkah al-amal: modal dalam bentuk kerja, dimana dua orang seprofesi bekerjasama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan mengambil keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya: kerjasama dua orang penjahit dalam menerima pekerjaan untuk menjahit seragam kantor.

3.shirkah al-wujuh: modal dalam bentuk reputasi atau keahlian dalam bisnis, dimana dua orang atau lebih yang tidak memiliki modal sama sekali membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual kembali pada pihak lain secara tunai. Keuntungan dari hasil penjualan tesebut di bagi bersama.

Musyarakah dapat juga di applikasikan ke dalam skema pembiayaan Bank, diantaranya adalah:


1. Pembiayaan Proyek

Musyarakah dapat di lakukan pada sebuah proyek yang sebagian modalnya dibiayai oleh bank dan setelah proyek itu selesai bank dapat melepas kemitraannya dan menjual kembali bagian dari sahamnya kepada nasabah.

2. Pembiayaan L/C

Musyarakah dapat pula digunakan untuk pembiayaan export atau import dengan menggunakan letter of credit atau L/C.

3. Modal Kerja/working capital

Musyarakah dapat digunakan juga untuk modal kerja sebuah usaha atau bisnis.

Distribusi Profit/laba

Ada beberapa syarat dan ketentuan dalam hal pembagian keuntungan dari akad Musyarakah:

  1. Proporsi profit/laba diantara mitra harus disepakati bersama dimuka dan dituangkan dalam akad.
  2. Profit rasio harus ditentukan berdasarkan hasil dari keuntungan yang nyata dan tidak harus tergantung dari besarnya modal yang telah diinvestasikan oleh masing-masing mitra bisnis.
  3. Tidak boleh dalam bentuk nilai yang pasti atau fixed amount tetapi harus dalam bentuk persentase.


Dalam pembagian profit ini, para Ulama dari Mazhab Maliki dan Shafi’i mempunyai pandangan bahwa sangatlah penting agar legalitas dari Musyarakah ini terjaga apabila pembagian profit sesuai dengan proporsi modal yang di setorkan, misalnya kalau modalnya 30% maka pendapatan profitnya juga harus 30%. Namun Para Ulama dari Mazhab Hanbali mempunyai pandangan yang berbeda, dimana mereka mengatakan bahwa rasio pendapatan keuntungan boleh saja berbeda persentasenya dari modal yang disetor, sepanjang hal itu disepakati bersama oleh semua bisnis partnernya.

Sementara itu, para Ulama dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rasio laba/profit ratio boleh tidak sama dengan rasio modal pada kondisi yang normal. Apabila salah seorang bisnis partner mensyaratkan di dalam akad bahwa beliau tidak akan turut serta dalam mengelola bisnis tersebut, yang hanya akan menjadi sleeping partner dan hanya menyetorkan modal nya saja, maka bagian dari laba yang akan di dapat nya hanya sebatas proporsi modalnya saja/persentasenya sesuai dengan modal yang di setorkan.

(Nibra Hosen, www.pkesinteraktif.com)

References:

1.Briefcase Book Edukasi Professional syariah, 2005, “ Cara mudah memahami akad akad syariah, Al-syirkah atau musyarakah”. Penyunting: Dr. M. Firdaus NH, Sofiniah Ghufron, M. Aziz Hakim, Mukhtar Alshodiq.

2.INCEIF 2006, Applied Shariah in Financial Transactions, Topic 4, Musharakah.

Tafsir Ayat Kursi dan Kutamaan Membacanya

“Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya, Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah:255)
Kandungan Ayat

Ayat kursi ini mengandung banyak keutamaan bahkan setiap katanya banyak sekali arti yang luas. Namun kandungan yang paling penting antara lain:

Pertama, Ayat Kursi salah satu agung dan ayat mulia dalam Al-Qur’an, karena secara umum memuat banyak sekali asma-asama (nama-nama) Allah dan sifat-sifat Allah yang mulia.

Kedua, Tidak ada satupun tindakan yang tidak diketahui Allah sekecil apapun perbuatan itu. Konsekuensi ayat ini adalah bahwa setiap muslim harus benar-benar menjaga setiap gerak langkahnya. Karena apapun yang dilakukannya dari mulai bangun hingga kembali memejamkan mata ada balasan yang akan diperolehnya

Ketiga, Keharusan memberikan kualitas pada kehidupan dengan berbagai manfaat. Baik untuk diri sendiri, untuk agamanya, keluarga, masyarakat dan hingga akhiratnya.

Keempat, Apapun bentuk yang terjadi di dunia ini, baik yang menimpa dirinya, pekerjaanya, keluarganya dan lainnya tidak lepas dari takdir dan kekuasaan Allah semata. Dan apapun bentuk perubahan yang dikehendaki manusia tidak lepas dari izin Allah semata. Seperti yang tertuang dalam kalimat:

“Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

Keutamaan Membaca Ayat Kursi

Pertama, Nabi Saw pernah, berkata kepada Ubay bin Ka’ab, “Ayat apa yang paling agung di dalam Kitabullah?.”“Aku menjawab, Allah dan Rasul-Nya-lah yang lebih tahu.” Hingga beliau mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, kemudian aku berkata, “Allâhu Lâ ilâha illa huwal Hayyul Qayyûm.” Dia berkata, “Lalu beliau menepuk dadanya sembari berkata, “Semoga ilmumu menjadi ringan, wahai Abul Mundzir!.” (HR.Muslim)

Kedua, Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Rasulullah Saw menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan, lalu seseorang datang kepadaku seraya membuang makanan yang ada di tangannya, lantas aku memungutnya sembari berkata, ‘Akan aku laporkan hal ini kepada Rasulullah Saw. Lalu Abu Hurairah menceritakan tentang hadits tersebut, diantara isinya adalah, ‘Beliau bersabda, ‘ Bila engkau akan beranjak ke tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursi karena sesungguhnya ia (dapat menjadikanmu) senantiasa mendapatkan penjagaan dari Allah dan syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Nabi Saw., bersabda kepadanya, “Dia telah berkata jujur padamu padahal seorang pembohong, itulah syaithan.” (HR.al-Bukhari)
Banyak hadist lainnya yang menceritakan keutamaa membaca ayat kursi begitu pula dengan penafsirannya dan memang bukan disini tempatnya membahas panjang lebar.

Waktu Membaca Ayat Kursi

Dianjurkan membaca ayat Kursi seusai setiap shalat fardhu, ketika akan tidur dan di saat apa saja. Imam Nawawi dalam Al-Adzkarnya menyarankan agar setiap pergi keluar dari rumah atau hendak bepergiaan baiknya membaca Ayat Kursi 3 x selain membaca surat Al-Fiil.
Saya pribadi sering melaksanakan anjuran sang Imam, dan alhamdulilah memang berkah dan manfaatnya besar sekali.

Semoga bermanfaat

Sumber: Catatan Kajian & Tafsir Al-Qur'an: Tafsir Ayat Kursi

Kamis, 15 Oktober 2009

....RIzki....

Rizki yang dibagikan adalah rizki yang sudah dicatat dalam Lauhul Mahudz. Setiap manusia yang hidup di dunia, sudah memiliki jatah atau bagian rizki masing-masing di sana. Yaitu, apa-apa yang dimakan, diminum, dan dipakai selain yang telah dijamin, masing-masing telah dijamin, sudah ada ukurannya tidak akan melewati ukuran itu serta tidak akan melanggar waktu yang telah ditentukan dan juga tidak akan bertambah ataupun berkurang. Tidak akan terlambat dan tidak akan datang sebelum waktunya dari yang sudah dipastikan oleh Allah SwT. Rizki yang dibagikan ini adalah sesuatu yang sudah dinikmati. Jadi belum tentu sekarang kita mendapatkan uang banyak, lalu menganggap uang itu rizki untuk kita. Siapa tahu, setelah mendapat uang, di tengah jalan kita ditodong penjahat, atau hilang karena kita tidak teliti dalam meletakkannya. Uang lepas dari tangan kita. Berarti uang tersebut bukan rizki kita. Kita pun terkadang berujar jika kita kehilangan uang atau barang karena kita tidak teliti dalam melatakkannya. Kita katakan, “ya sudah berarti itu belum menjadi rizki kita.” Atau uang tersebut sudah dapat kita bawa pulang lalu kita tabung. Tiba-tiba ada saudara atau anak yang masuk rumah sakit. Berarti bukan sepenuhnya rizki kita. Rizki tersebut sebenarnya milik orang lain, hanya saja lewat kita terlebih dahulu. Atau mungkin bagiannya masjid, karena ada pembangunan masjid, kita sumabngkan sebagian rizki yang kita peroleh. Bisa juga bagiannya madrasah, fakir-miskin atau anak yatim. Maka perlu direnungkan bahwa harta yang kita peroleh bukan berarti jatah kita sepenuhnya. Tentang rizki yang hakiki adalah rizki yang kita nikmati. Ini sudah ditentukan sebelum manusia lahir. Rasulullah Saw bersabda: “Rizki selebihnya dari yang sudah ditentukan, sudah selesai dibagikan sebelum manusia dilahirkan.” Wallaahu a’lam

Putus asanya syaiton terhadap umat Nabi Muhammad SAW

Suatu ketika di zaman Tuan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, dikala beliau sedang menuju ke masjid beliau melihat syaiton dalam keadaan muka yang pucat, badannya yang kurus dan pundaknya yang bengkok, lalu Tuan Syekh berkata kepada syaiton tersebut , hai syaiton kenapa muka engkau pucat ?, begini Tuan Syekh aku pucat dikala aku menunggu orangtua yang sedikit lagi mati dan aku menggodanya agar dia mati dalam su’ul khotimah, tetapi aku pucat dikala dia membacakan “Yaa Allah biha Yaa Allah biha Yaa Allah Bi khusnil khotimah” dan aku takut ia mati khusnul khotimah, karena itulah aku pucat.
Lalu mengapa engkau kurus ?, begini Tuan Syekh aku bangga dan sehat tubuhku bila seorang anak cucu adam dan umat Muhammad dikala ia makan dan minum tidak membaca nama Tuhannya tetapi aku kurus bila ada diantara mereka yang kugoda tetapi setiap ia makan dan minum dia membaca “Bismillahirrahmanirrahiim” , sebab inilah aku menjadi kurus.
Dan mengapa engkau bengkok?, begini Tuan Syekh aku adalah penggoda dan selalu menjadi penggoda, kuberatkan ia untuk shalat, puasa, dan menginggat Allah khususnya ku goda bagi mereka yang muda, kumasuki hawa nafsunya untuk tidak sujud kepada Tuhannya dan tidak mencintai kepada Nabinya, aku merasa terbebani bila ada seorang pemuda yang ku goda langkahnya dan ku goda nafsunya untuk jauh dari ilmu tetapi ia melawannya dan bengkoklah aku dikala ia duduk dimajlis ilmu menyebut-nyebut nama Tuhannya dan menyebut-nyebut nama Muhammad, terbebani aku terbebani seakan aku membawa gunung di pundakku, tapi ingatlah wahai Tuan Syekh jika ia melanggar perintah Allah dan Muhammad Rasulnya ketahuilah bahwa aku adalah sahabat dekatnya dan tidak akan aku biarkan ia bersamamu, maka Tuan Syekh berkata “aku berlindung dari godaan syaiton yang terkutuk”,enyahlah engkau! maka tertawalah ia (syaiton) lalu pergi.

Teladan Berbisnis dari Rasulullah

Kondisi perekonomian dunia yang dipanglimai oleh Amerika Serikat dan negara-negara barat katanya sedang terpuruk. Saya adalah pengguna aktif Twitter, sebuah situs social networking, yang setiap saat selalu mendapatkan berita terkini dari beberapa situs berita yang saya ikuti seperti New York Times, CNN atau BBC. Beritanya seram-seram. PHK di mana-mana, keluarga-keluarga di Amerika mulai mengetatkan ikat pinggang.

Saya pun berpikir, kenapa ekonomi negara adi daya itu bisa terpuruk? Bukankah hampir semua praktisi handal dan pemikir tulen di bidang bisnis dan keuangan bercokol di sana. Buku-buku bisnis terbaik dan terlaris selalu berasal dari sana. Bukankah sebagian besar perusahaan Fortune 500 berasal dari sana? Apa yang terjadi?

Selidik punya selidik, ternyata masalahnya bukanlah karena mereka kurang ilmu atau sarana pendukung bisnis yang canggih. Mereka punya semua alat itu. Mereka semua punya senjata untuk memenangkan persaingan bisnis. Masalahnya bukanlah soal senjatanya, melainkan siapa dan bagaimana menggunakan senjata itu. Man behind the gun.

Inilah yang kurang disentuh oleh para praktisi dan pemikir bisnis di sana. Ketika kapitalisme di-leverage sedemikian rupa sehingga kita tidak tahu lagi bagaimana proses barang bisa menjadi uang dan uang itu pun telah bermutasi menjadi bentuk-bentuk yang kita sendiri tidak mengerti dari mana asalnya. Di situlah, peran nurani manusia sebagai pengendali terpinggirkan. Keserakahan tanpa batas seperti dicontohkan oleh Bernie Madoff dan kawan-kawannya, telah mengantarkan kapitalisme yang dibanggakan selama ini ke jurang terdalam.

Perusahaan-perusahaan besar itu jatuh bukan karena kalah oleh penguasaan ilmu manajemen dan teknologi. Mereka jatuh terpuruk karena keserakahan dan cacat karakter yang dilakukan oleh para pemimpin dan pengelola perusahaan-perusahaan itu.

Belakangan, banyak buku bisnis mencoba mengangkat kualitas-kualitas terbaik dari organisasi-organisasi bisnis terbaik. Ternyata mereka menemukan bahwa peran nilai, budaya dan karakter yang dibangun di organisasi itulah sebagai ujung tombak kesuksesan mereka. Zappos.com, sebuah toko sepatu online yang berusia 10 tahun, mencengangkan dunia bisnis online karena diakuisisi oleh Amazon.com senilai hampir 1 miliar dollar. Kenapa Amazon kepincut dengan Zappos? Bukankah Amazon secara teknologi dan kemampuan lebih kuat dibandingkan Zappos? Amazon tertarik dengan Zappos karena budaya pelayanan dan karakter yang dibangun oleh Zappos yang dikomandani oleh Tony Hsieh yang inspiratif itu.

Karakter, inilah nilai-nilai yang dibangun dan dicontohkan oleh Rasulullah sejak berabad-abad lalu. Sebagai muslim, kita sering terpukau dengan ilmu-ilmu dari barat yang jika ditelurusi ternyata sudah dipraktekkan oleh Rasul namun kurang kita pahami dengan baik.

Apa saja nilai warisan dari Rasul yang bisa kita tiru sebagai pengikutnya? Sebagaimana kita ketahui, Rasullullah Muhammad SAW. adalah seorang pebisnis sukses. Beliau menjalani hidup sebagai pebisnis selama 25 tahun, mulai dari ussia 15 sampai 40 tahun. Sementara masa kerasulan beliau hanya 23 tahun.

Beliau menjadikan bekerja sebagai ladang menjemput surga. Kejujuran (As Siddiqh) dan kepercayaan (Al Amin) menjadi prinsip utamanya dalam berbisnis. Beliau juga seorang yang cerdas (Fathonah) dengan memiliki pikiran visioner, kreatif, dan inovatif. Rasulullah juga pintar dalam mempromosikan diri dan bisnisnya (Tabligh). Istilah sekarang adalah pemasaran atau marketing.

Keempat kualitas pribadi ini menyatu dalam diri beliau menjadi karakter yang kuat dan melekatlah personal branding "Al Amin" yang kemudian menjadi semacam "jaminan mutu" terhadap siapa saja yang ingin berbisnis dan bertransakti dengan beliau. Maka, terbukalah kesempatan baginya untuk berbisnis tanpa modal alias dengan menjalankan modal orang lain.

Rasululah menjalankan kerja sama dengan sistem upah maupun bagi hasil (mudharabah) dengan Siti Khadijah, seorang pengusaha wanita yang kaya. Kadang-kadang dalam kontraknya Muhammad sebagai pengelola (mudharib) dan Khadijah sebagai sleeping partner(shahibul maal) dan sama-sama berbagi atas keuntungan maupun kerugian. Terkadang pula Muhammad menjadi pebisnis yang digaji/medapatkan upah untuk mengelola barang dagangan Khadijah. Diantaranya Khadijah pernah mempercayakan kepadanya modal untuk bertolak ke Syiria.

Dalam sebuah pengajian, KH Abdullah Gymnastiar pernah berkisah bahwa kejujuran adalah sesuatu barang langka di dunia bisnis saat ini. Maka, ketika muncul seorang pebisnis dengan citra kejujuran di dalam dirinya, niscaya ia akan menjadi "wealth attractor". Para mitra akan senang berbisnis dengannya, supplier akan mendahulukan pesanannya, pelanggan pasti tidak tertipu dengan janji-janji yang diberikannya, karyawan pun tentu akan lebih loyal kepadanya.

Seorang kerabat saya beberapa bulan lalu kehilangan 3 buah ruko berikut isinya hangus terbakar api. Miliaran rupiah jerih payahnya selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Secara hitungan bisnis, ia sudah tamat. Sulit untuk bangkit lagi. Tapi kenyataan berbicara lain. Dalam waktu tidak lama bisnisnya bangkit lagi dan bahkan melebihi besaran bisnis sebelum terbakar. Kenapa? Karena mitra suppliernya mendukungnya dengan sepenuh hati agar bisnisnya bangkit kembali. Mereka memberikan barang dagangan tanpa perlu pembayaran dan jaminan apa pun. Reputasinya yang baik dan kejujurannya telah menyelamatkannya dan membangkitkan bisnisnya kembali. Itulah contoh dari teladan Rasulullah yang telah dibuktikan keberhasilannya.

Selain jujur, Rasulullah juga seorang pebisnis yang smart. Kecerdasan beliau berbisnis juga sangat diakui. Beliau pernah menjual barang dagangan dan meraih keuntungan dua kali lipat dibanding pebisnis-pebisnis yang lain. Ketika Khadijah mendapatinya dengan keuntungan yang sangat besar yang belum pernah diraih siapapun sebelumnya maka Khadijah memberikan keuntungan yang lebih besar daripada yang telah mereka berdua sepakati sebelumnya.

Dari uraian di atas tergambar bahwa Rasulullah adalah seorang pelaku bisnis yang sangat sukses di jamannya. Ada dua prinsip utama yang patut diteladani oleh kita sebagai ummatnya dalam berbisnis. Pertama, uang ternyata bukanlah modal utama dalam berbisnis. Bisnis bisa dilakukan tanpa modal uang sama sekali. Personal branding beliau yang dikenal sebagai "Al Amin" atau dapat dipercaya adalah pengungkit utama kesuksesan bisnisnya.

Kedua, kecerdasan berbisnis atau kompetensi sangat diperlukan dalam mengembangkan bisnis. Modal uang tanpa kecerdasan bisnis tidak ada artinya. Seluk beluk aktivitas bisnis harus dikuasai dengan baik.Rasulullah mengetahui seluk beluk berbisnis sejak dini ketika magang bersama pamannya. Beliau mengetahui di mana pasar yang membutuhkan produknya dan di mana sumber-sumber produk tersebut untuk dijual.

Beliau mengetahui bahwa untuk menjalankan bisnis yang sukses dan berkelanjutan harus ditempuh dengan cara-cara yang baik pula. Teladan ini semakin selaras dengan temuan-temuan mutakhir teori ekonomi dan bisnis modern. Teori-teori itu semakin mendekatkan kepada ajaran-ajaran mulia dari Rasulullah SAW.