Kamis, 22 Oktober 2009

NASIKH WAL MANSUKH

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa artinya menghapus, dan sering diartikan memindahkan. Sedangkan menurut istilah nasikh yaitu menghapus sesuatu yang sudah tetap dalam syari’at dengan dalil yang datang kemudian.

B. Perbedaan Nasikh, Takhshish dan Bada’.
Disamping masalah nasikh, muncul juga isu lain, yaitu takhshia dan bada’ yang telah akrab dengan kita sewaktu mempelajari nasikh, yang dipahami secara keliru oleh kaum yahudi dan nasrani bahwa bada’ itu mustahil bagi Allah Swt. Sementara ini yang populer dan paling banyak membicarakan tentang bada’ adalah madzhab Imamiyah. Karena itu, kita melihat sebagian saudara kita, para ulama Ahlusunah, mencap saudara Imamiya mereka dengan tuduhan yang tidak baik. Mereka mencapnya sesat dan menyimpang dari pada yahudi dan nasrani yang menolak nasikh, sebab mereka menolak nasikh untuk menyucikan Allah Swt dari sifat-sifat kekurangan. Sementara Imamiyah menisbatkan bada’ kepada Allah Swt bahwa menuduh Allah itu tidak tahu dan memiliki kekurangan.
Pengertian bada’ yang dipahami oleh orang yahudi dan nasrani yaitu berkenaan dengan qudrah Allah Swt, yang juga dibantah oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 64, yang artinya: “ orang-orang yahudi berkata: ‘tangan Allah terbelenggu, sebenarnya tangan mereka yang terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan, (tidak demikian) tetapi kedua tangan Allah itu terbuka. Dia manafkahkan sebagaimana Dia kehendaki….”
Ringkasan kesalahpahaman ini adalah bahwa kalau Allah menciptakan sesuatu dan titah-Nya berlaku atasnya, maka adalah sangat mustahil bagi Allah untuk mengubahnya lagi. Misalnya adalah, ketika Dia menciptakan hukum gravitasi bumi. Maka, Dia menjadi tidak berkuasa lagi dan tidak berdaya dengan hukum ini sehingga tidak bisa mengubah atau menghapusnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Shadiq as, “mereka tidak menyangka kepada Allah begitu tetapi berkata bahwa Ia telah menyelesaikan tugasnya dan tidak bisa menambahi dan menguranginya”.
Sedangkan bada’ yang diyakini oleh Imamiyah adalah gagasan tentang perubahan dan penghapusan di alam raya ciptaannya, yang sesuai dengan surat Al-Maidah ayat 64 yang artinya: “tetapi kedua tangan-Nya terbuka lebar. Ia menginfaqkan apa yang Ia kehendaki, serta ayat “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan dari sisi-Nya induk segala kitab”. Gagasan ini meyakini ilmu Allah yang mengatasi segala-galanya ke masa depan dan ke masa lalu, Ia berkuasa menambahi, mengurangi dan mengubah. Allah juga maha berkuasa untuk mendahulukan atau menunda dan mengganti.
Sedangkan takhshis berarti menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum, ketika tidak ada yang menakhshis (orang yang mempergunakan takhshis).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara nasikh, takhshis dan bada’ adalah, nasikh adalah kekuasaan atau kehendak yang dimiliki oleh Allah dan hanya suatu pertentangan satu ayat dengan yang lain dalam kejelasan lafadznya, bada’ adalah kekurangan atau hal yang menentang adanya nasikh sedangkan takhshis adalah bagian dari pada nasikh yang berarti mengkhususkan sesuatu yang umum.

C. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh Mansukh
Ayat yang menjadi dasar adanya nasikh :
               •      
Artinya : “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
1. Syarat-Syarat Nasakh
Untuk diterima adanya nasakh diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
- Yang dinasakh (mansukh) itu adalah hukum syara’, yang bukan sesuatu yang zatnya memang diwajibkan.
- Nasikh (yang menghapus) harus dalil-dalil syara’.
- Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya : “Makan dan Minumlah kamu sehingga terang / tampak olehmu benang putih dari benang hitam, ialah fajar”.
- Nasikh harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak dapat menghapuskan yang kuat.
- Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian setelah mansukhnya,
- Nasikh (yang menghapus) harus hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.
- Nasikh dapat diketahui benar-benar sebagai nasikh dengan mengetahui adanya penjelasan dan lafadz yang menunjukan pembatalan.
- Adanya pertentangan antara dua dalil yang tidak bisa dikumpulkan antara dua buah dalil yang bertentangan, maka tidak ada boleh nasakh.

D. Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Nasikh Dan Mansukh.
Banyak sekali pendapat-pendapat yang dikemukakan tentang ada dan tidaknya nasikh dan mansukh ini baik dari para ulama, ahli tahqiq, ahli tafsir dan lain sebagainya, akan tetapi pada intinya, sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafal nasikh kembali kepada membatasi makna kata secara etimologi dan membatasi makna kata secara terminology. Perbedaan pendapat dalam menetapkan definisi nasikh, telah membayangkan kepada kita beberapa macam perselisihan yang lain dalam pokok pembicaraan ini.
Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnul Hashshar, yang harus kita pergunakan untuk menetapkan nasikh dan mansukh agar diantara kita sekalian tidak ada pertentangan seperti yang terjadi diantara para ulama, ialah nukilan yang tegas dari Rasulullah Saw atau dari sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan ayat ini, dinasakhkan oleh ayat itu. Dan juga kita dapat menetapkan kemansukhan suatu ayat, apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita mengetahui mana ayat yang terdahulu dan mana yang kemudian.
Dalam masalah nasakh kita tidak dapat berpegang kepada pendapat ahli-ahli tafsir, tidak pula kepada ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan yang nyata, karena nasikh berarti mengangkat suatu hukum yang telah tetap di masa Nabi.
Para muhaqqiq menandaskan, bahwa kebanyakan ayat yang disangka oleh ahli tafsir mansukhah atau nasikhah, sebenarnya hanya pengangguhan hukum, atau suatu kemujmalan yang ditunda penjelasannya sampai kepada waktu dirasa perlu atau untuk yang khusus.

E. Macam-Macam Nasikh Dalam Al-Qur’an.
Para ulama ushul membagi nasikh kepada beberapa macam, antara lain:
1. Yang dinasikh dalam kitab bacaannya, tetapi hukumnya tetap, misalnya dalam ayat yang artinya “orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, jika berzina rajamlah keduanya tidak boleh tidak”. Ayat ini tidak ada pada bacaan, karena dihilangkan (dinasakh), tetapi hukumnya tetap, sebab sesudah itu nabi saw merajam orang yang muhshan. (hr. Bukhari dan muslim).
2. Dinasakh hukumnya, tetapi bacaannya tetap, seperti ayat:
       ••      
Artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya”. (QS. Al-Baqarah : 240).
Dari ayat ini dipahamkan bahwa ‘iddah wafat itu satu tahun lamanya, tetapi kemudian dinasakh dengan ayat:
           
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”(QS. Al-Baqarah : 234)
3. Dinasakh bacaan beserta hukumnya bersama-sama: misalnya hadits Muslim dari Aisyah r.a yang menyatakan bahwa: “ Menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”. “kemudian dinasakhkan dengan lima kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”.
Tegasnya, dahulu pernah diturunkan bahwa sampai mengharamkan antara anak dan ibu susuan itu apabila telah sampai sepuluh kali susuan. Kemudian dinasakh dengan ayat yang menerangkan lima kali susuan sudah cukup menjadi batas bagi haramnya antara anak susuan dan ibu susuan.
4. Nasikh kitab dengan sunnah, misalnya firman Allah Swt:
        • .... 
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah : 180)
Kemudian dinasakh oleh hadits Nabi Saw yang artinya: “Tidak dianggap sah berwasiat untuk ahli waris”. (HR. Turmudzi dan ibn Majah)
5. Nasakh sunnah dengan sunnah, misalnya hadits Muslim yang menyatakan: “Dahulu aku telah melarang ziarah kubur, maka sekarang bolehlah engkau menziarahinya”.
Dan didalam contoh yang lain, Nabi Saw pernah berkata: “Janda yang berzinah dengan duda (dihukum) jilid 100 kali dan rajam”. Kemudian Nabi Saw pernah merajam Ma’iz dan tidak menjilidnya. Perbuatan Nabi terhadap Ma’iz ini berarti menghapus hukum yang terdapat dalam hadits yang pertama.
6. Nasakh sunnah dengan kitab, misalnya menasakh menghadap ke baitul maqdis: “Bahwasanya Nabi Saw, menghadap baitul maqdis dalam shalat enam belas bulan” (sepakat Ahli Hadits).
Dinasakh oleh ayat:
       •                 •               
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah :144)
7. Nasakh dalam Al-Qur’an.
Memang dalam hal ini ada dua pendapat dikalangan ulama ushul, yaitu:
a. Golongan yang membenarkan adanya nasakh dalam al-qur’an
Golongan pertama yang dipelopori oleh Asy-Syafi’I, An-Nahhas, As-Sayuti dan Asy-Syaukani. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah:
               •      
Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
Dan dalam Surat An-Nahl ayat 101:
   •                
Artinya: “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui”(QS. An-Nahl : 101)

b. Golongan yang menolak adanya nasakh dalam al-qur’an
Adapun golongan kedua yang menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada nasikh mansukh, mereka ialah: Abu Muslim Isfani, Al-Fakhrur Razi, Rasyid Ridla, dan Muhammad Abduh. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah Swt:
                
Artinya: “ Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya”(QS. Al-Kahfi : 27)
Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merubah firman-firman Allah.

F. Hikmah Keberadaan Nasikh Dalam Al-Qur’an.
1. Memelihara kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan tasyri’ itu kepada tingkat yang sempurna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan keadaan orang banyak.
3. Mencoba mukallaf dan melakukan percobaan-percobaan dengan mengikuti perintah dan meniadakannya.
4. Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya.

TALAK

A. Definisi Talak
Talak berasal dari kata “ithlaq” yang artinya secara harfiyah atau bahasa berarti perpisahan, melepaskan, lepas atau bebas. Sedangkan secara terminologis berarti melepaskan ikatan suami isteri yang sah oleh pihak suami dengan lafal tertentu atau yang sama kedudukannya seketika itu atau masa mendatang. Dan di dalam undang-undang no. 1 tahun1974 pasal 117 talak berarti “ikrar suami di hadapan siding Pengadilan Agam yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang telah di atur”.

B. Macam-Macam Talak
Macam-macam talak ini dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
1. Talak dilihat dari segi Sighat (ucapan)
Sighat talak adalah bentuk kalimat yang diucapakn seorang lelaki untuk menunjukan pelepasan ikatan suami istri dan mewujudkan perkataannya dengan perbuatan. Ada kalanya berupa kalimat terang-terangan dan ada kalanya sindiran.
a. Talak yang terang-terangan
b. Talak dengan sindiran (kinayah)
2. Talak dilihat dari tempat kejadian
a. Talak munjaz, Ialah talak yang kalimatnya tanpa disertai syarat dan penetapan waktu.
b. Talak mudhaf, yaitu bentuk kalimat talak yang berkaitan dengan masa jatuhnya talak di waktu itu apabila telah tiba.
c. Talak muallaq, ialah talak yang berlakunya dikaitkan oleh suami dengan suatu perkara yang terjadi di masa mendatang.
3. Talak dilihat dari segi keadaan isteri.
a. Talak sunni, yaitu talak yang diperbolehkan ketika suami menjatuhkan talak itu kepada si isteri, ketika si isteri tidak dalam keadaan haid, hamil dan tidak dipergauli pada waktu suci.
b. Talak bid’i, yaitu talak yang dilarang bilamana talak itu dijatuhkan oleh suami ketika si isteri dalam keadaan haid, nifas atau dalam keadaan suci namun dalam waktu itu telah dicampuri oleh suaminya.
4. Talak dilihat dari segi kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan isterinya.
a. Talak raj’i, adalah talak kesatu dan kedua, dimana suami berhak rujuk dengan isterinya selama masih dalam masa iddah.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan ayat 229, yakni:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki perdamaian”. (QS. Al Baqarah : 228)
         ...
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”(QS. Al Baqarah : 229).
b. Talak ba’in, yaitu talak yang memisahkan isteri dari suaminya secara final sehingga tidak memungkinkan suami kembali kepada isterinya kecuali dengan nikah baru. Talak ba’in terbagi menjadi dua macam:
- Talak ba’in sughra, ialah talak satu dan dua yang tidah boleh dirujuk tapi boleh nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
- Talak ba’in kubra, ialah talak tiga baik sekali ucapan atau berturut-turut, talak ini menyebabkan si suami tidak boleh kembali kepada isterinya meskipun dengan nikah baru, kecuali bila isterinya itu telah menikah dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis pula masa iddahnya.




C. Syarat Talak
1. Suami yang mentalak adalah seseorang yang telah dewasa dan sehat akalnya dan ucapan talak yang dikeluarkannya adalah atas dasar kesadaran dan kesengajaannya
2. Perempuan yang ditalak adalah isterinya atau orang yang secara hukum masih terikat dengannya.
3. Shighat atau ucapan talak yang dilakukan oleh suami kepada isterinya, baik secara lisan ataupun tulisan yang dapat dipahami dengan perantara orang lain, bahkan dapat pula dengan isyarat orang yang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang melihat dan mendengarnya.
4. Adanya dua orang saksi, agar dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum atas kesaksiannya.
5. Undang-undang di dunia Islam yang telah menetapkan perceraian itu mesti di pengadilan.

D. Sifat Talak
Ketentuan dalam pasal 41 UUP sifat talak ini memang lebih bersifat global, dan kompilasi merincinya dalam empat kategori, akibat cerai talak, cerai gugat, akibat khulum, akibat li’an dan yang terakhir menurut hemat penulis yang tidak mendapat penekanan khusus adalah akibat kematian suami.

E. Hukum Talak
Pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh. Walaupun hukum asal dari talak itu makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu maka hukum talak itu adalah sebagai berikut:
1. Nadab/sunat, yaitu bila keadaan rumah tangga sudah tidak bisa dilanjutkan dan seandainya dipertahankan maka akan timbul kemudaratan yang lebih besar diantara kedua belah pihak.
2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadinya perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu dan manfaatnya ada.
3. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli isterinya sampai masa tertentu, serta ia tidak mampu pula membayar kaffarat sumpah. Dan tindakan ini memudaratkan bagi isteri.
4. Haram talak itu dilakukan tanpa alasan sedangkan isterinya dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah di gauli.

F. Akibat dan Hikmah yang Timbul dari Perceraian
Akibat yang mungkin akan timbul dari adanya perceraian bisa beraneka ragam tergantung kepada kemampuan suami atau istri dalam menyikapi dan memecahkan permasalahan yang akan timbul setelah terjadinya perceraian tersebut. Tetapi akibat yang timbul secara umum dari adanya perceraian tersebut, kebanyakan berdampak kurang baik terutama bagi kehidupan mereka yang sudah mempunyai keturunan/anak karena untuk mendidik anak diperlukan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua.
Walaupun talak itu dibenci namun ada saja hikmah yang dapat diambil seperti dalam rangka menolak terjadinya kemudharatan yang lebih besar, dengan demikian talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan mashlahat.

AKAL DAN WAHYU

A. PENDAHULUAN
Banyak hal yang menarik dari doktrin akidah Islam. Doktrin Islam selama ini telah membentuk cara pandang serta cara berpikir umatnya. Cara berpikir dengan akal ataupun interpretasi terhadap wahyu Ilahiah akan membentuk kesadaran serta perilaku. Lalu dengan realitas umat islam saat ini, timbul suatu paradoks yang membuat kita harus melakukan interprestasi ulang terhadap sistem berpikir (akal) maupun wahyu Ilahiah dalam konteks keseharian.
Memang kita dapati pada setiap bangsa dan di semua zaman, bahwa banyak orang dilemparkan oleh karena kekurangan ilmu pengetahuannya dan kelalaiannya sendiri keluar dari pantai keyakinan, sehingga ia jatuh kedalam lembah keraguan.

B. PEMBAHASAN
1. AKAL
1.1 Definisi Akal
Manusia umumnya dikonsepkan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq). Daya berfikir, yang dalam falsafah islam dikatakan sebagai salah satu daya yang dipunyai oleh roh, disebut akal. Akal dipandang sebagai esensi manusia. Bahkan dalam pandangan islam, seseorang baru dikatakan mukallaf (orang yang sudah dibebani kewajiban-kewajiban agama), salah satu dasarnya adalah bila seseorang itu sudah berakal.
Di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali telah menjelaskan bahwa perkataan akal ini digunakan untuk menunjukan kepada empat makna, yaitu:
1. Akal adalah sifat yang membedakan manusia dari pada hewan.
2. Akal adalah ilmu pengetahuan yang timbul kealam wujud pada diri kanak-kanak yang dengannya ia dapat membedakan tentang mungkinnya perkara yang mungkin dan mustahilnya perkara yang mustahil.
3. Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pada pengalaman dengan berlakunya macam-macam keadaan.
4. Akal sebagai kekuatan daripada instinct yang berkesesudahan kepada mengetahui akibat dari pada segala perkara dan mencegah serta menundukan hawa nafsu yang mengajak kepada kesenangan sesaat.
Apabila seseorang telah memiliki kekuatan seperti itu, maka ia disebut berakal. Segala gerak langkahnya mengikuti kepada kehendak pertimbangan akan akibat-akibatnya, tidak mengikuti kepada kehendak hawa nafsu.
Sedangkan menurut Hamka akal ialah anugrah Tuhan kepada makhluk yang dipilihn-Nya, yakni manusia. Sebagai anugrah terhadap makhluk pilihan, akal menjadi dasar yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Perbedaan itu di letakkan oleh Tuhan pada pemberian akal, telah memberikan potensi kepada manusia untuk meneliti dan mencari rahasia yang tersembunyi. Dengan akal itulah manusia dimungkinkan untuk melakukan perenungan, dan pada gilirannya mampu melakukan penelitian.
Sebagai pemberian Tuhan, akal mempunyai kebebasan untuk mencari, kendatipun kawasan pencarian akal itu hanya sebatas wilayah yang dapat dijangkaunya. Dengan akal manusia mempunyai kecerdasan yang memberikan kemampuan untuk menilai dan mempertimbangkan dalam pelaksanaan perbuatan manusia sehari-hari.
Al-Qur’an selalu menekankan agar manusia beriman dengan menggunakan pikiran. Allah Swt telah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 179 yang artinya:
“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, karena mereka mempunyai akal tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”
Dan ditegaskan dalam hadits Nabi Saw yang di riwayatkan oleh Ibn al-Mahbar dan Tirmidzi, yang artinya:
“bahwa Nabi Saw telah bersabda kepada Abu al-Darda: “Lebihkanlah akal anda supaya anda lebih dekat dengan Tuhan anda”. Abu al-Darda berkata: “Demi ibu bapakku ya Rasulullah, bagaimana aku boleh melakukan yang demikian?”. Beliau menjawab: “Jauhilah semua yang diharamkan oleh Allah Swt dan kerjakanlah semua yang diwajibkan oleh-Nya, maka anda akan menjadi orang yang berakal, kerjakanlah amal-amal saleh, niscaya anda akan bertambah kedekatan dengan Tuhanmu “azza wa jalla dan kemuliaan di hari yang akan datang”.
Jadi, akal adalah nikmat yang diberikan Allah Swt kepada manusia yang sangat besar dan patut kita syukuri, dan Allah Swt merintah agar kita senantiasa menjaga, memelihara dan menggunakannya.

1.2 Fungsi Akal
- Sebagai alat untuk membedakan atau menilai baik buruknya sesuatu, maka akal mempunyai peranan dalam membentuk sifat-sifat yang baik di dalam jiwa manusia, disamping menghilangkan sifat-sifat yang buruk daripadanya.
- Membentuk pengertian dan merumuskan pendapat, maka akal mempunyai peranan dalam menjadikan manusia mempunyai kesediaan untuk menerima atau memperoleh ilmu pengetahuan dan mengumpulkan pengalaman.
- Membuat kesimpulan, akal mempunyai peranan dalam membentuk kekuatan pada diri manusia untuk mengekang syahwat dan menjauhi segala perkara yang merugikan dan membahayakan.

2. Wahyu
2.1 Definisi Wahyu
Wahyu adalah kata masdar yang berarti berita, baik berita itu disampaikan secara lisan ataupun tulisan. Pendeknya segala berita yang disampaikan kepada orang lain supaya orang itu mengetahuinya. Dan kemudian kata wahyu itu dibiaskan pemakaiannya kepada segala berita yang disampaikan dari Allah kepada para nabi. Dan ada pula yang mengatakan, bahwa wahyu itu pemberitahuan secara rahasia (isyarat) tetapi yang dimaksudkan adalah isi berita.
Adapula yang mengatakan wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah Swt baik dengan sesuatu perantara ataupun tidak.
Para ahli telah memberikan definisi secara istilah, bahwa wahyu adalah pemberitahuan Allah Swt kepada Nabi diantara nabi-nabi-Nya tentang hukum syara’.
Menurut Hamka wahyu adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada nabi-nabi. Para nabi sebagai menusia utama, menerima pengetahuan tersebut dari Tuhan dengan cara penerimaan langsung melalui perantara malaikat, atau dengan cara mendengar suara ataupun tidak, tetapi para nabi paham betul bahwa apa yang mereka terima itu berasal dari Tuhan.

2.2 Fungsi Wahyu
Fungsi wahyu yang pertama menurut Hamka adalah memberi tahu kepada manusia siapa Tuhan yang sebenarnya itu. Hal ini dijelaskan oleh Hamka dengan mengatakan bahwa “kedatangan agama ialah menuntun dan menjelaskan bahwa Dia memang satu adanya” dan lewat tuntunan wahyu itu pula, Dia yang satu itu dikenal oleh manusia dengan nama Allah yang bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim.
Fungsi wahyu yang kedua, adalah memberi tuntunan bagi manusia apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain, setelah dituntun para nabilah manusia baru mengetahui bahwa bila ia melakukan kebaikan, manusia akan diberi ganjaran pahala, dan apabila ia melakukan kejahatan, maka kepadanya akan diberikan siksaan dan azab.
Dengan demikian fungsi wahyu pada intinya ialah pemberi informasi tentang kewajiban berterima kasih kepada Allah Swt serta kewajiban untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

3. Pemahaman Beberapa Aliran Dalam Islam Mengenai Akal Serta Fungsi Wahyu.
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks manakah diantara keduanya, akal ataukah wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu aliran Maturidiyyah Samarkand yang juga termasuk penganut pemikiran kalam rasional mengatakan bahwa kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah dan Maturiddiyah Samarkand untuk menopang pendapat mereka adalah surat Fushlihat ayat 53, surat Al-Ghasiyah ayat 17 dan surat Al-A’raf ayat 185.
Bagi aliran kalam rasional, karena akal manusia sudah mengetahui empat hal yang disebutkan di atas maka wahyu disini berfungsi memberikan konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Menurut mereka bukan berarti wahyu tidak perlu, wahyu diperlukan untuk memberitahu manusia bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, dan menyempurnakan pengetahuan akal serta menjelaskan perincian hukuman yang akan diterima manusia di hari akhir.
Sedangkan aliran Asy’ariyyah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih, baik dan buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang buruk, itu diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikir kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui dengan akal. Sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bagi aliran kalam tradisional untuk memperkuat pendapatnya adalah surat Al-Isra’ ayat 15, surat Thaha ayat 134, surat An-nisa ayat 164 dan surat Al-Mulk ayat 8-9.
Bagi aliran kalam tradisional, karena mereka memberikan daya yang lemah kepada akal, fungsi wahyu bagi aliran ini sangat besar. Tanpa diberitahukan oleh wahyu, manusia tidak mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, serta kewajiban-kewajibannya yang harus dilakukan sebagai hamba.

4. Korelasi Antara Akal dan Wahyu
Setelah kita memahami definisi serta fungsi dari akal dan wahyu tersebut maka keduanya mempunyai suatu korelasi yang sangat mengikat. Akal yang dipandang sebagai esensi manusia yang berdaya untuk berfikir serta wahyu yang di artikan sebagai berita atau informasi yang diberikan oleh Allah Swt kepada orang pilihan dan disampaikan kembali kepada yang lainnya. Lewat tuntunan wahyulah diperolehnya suatu petunjuk dan akal sebagai alat berfikir manusia berguna untuk menafsirkan wahyu yang telah diturunkan, walaupun akal pada dasarnya sangat terbatas daya jangkaunya dan yang dihasilkannya pun akan relative sehingga terjadinya keragaman pemaham tentang isi wahyu itu yang ditafsirkan oleh akal

ISTIHSAN

A. Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik atau mencari yang baik, dan ini bisa bersifat lahiriah ataupun maknawiah. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Proses ‘meninggalkan’ itulah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
B. Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
1. berdasarkan dalil yang melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
a. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)

b. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
c. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
d. Istihsan dengan ‘urf atau konsekuensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.
Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.
2. berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh Istihsan tersebut terhadap qiyas. Berdasarkan sudut pandang ini, Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:
a. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.
b. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
c. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.
d. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Adapun jika keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsan kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) saat mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia:
“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain), namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut..”.



C. Kehujjahan Istihsan
Menyikapi kehujjahan dalam penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah:
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2. Firman Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...” (al-Zumar: 17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3. Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
• Bolehnya masuk ke dalam hammam[18] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
• Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut.
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial. Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,
Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.