Kamis, 22 Oktober 2009

NASIKH WAL MANSUKH

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa artinya menghapus, dan sering diartikan memindahkan. Sedangkan menurut istilah nasikh yaitu menghapus sesuatu yang sudah tetap dalam syari’at dengan dalil yang datang kemudian.

B. Perbedaan Nasikh, Takhshish dan Bada’.
Disamping masalah nasikh, muncul juga isu lain, yaitu takhshia dan bada’ yang telah akrab dengan kita sewaktu mempelajari nasikh, yang dipahami secara keliru oleh kaum yahudi dan nasrani bahwa bada’ itu mustahil bagi Allah Swt. Sementara ini yang populer dan paling banyak membicarakan tentang bada’ adalah madzhab Imamiyah. Karena itu, kita melihat sebagian saudara kita, para ulama Ahlusunah, mencap saudara Imamiya mereka dengan tuduhan yang tidak baik. Mereka mencapnya sesat dan menyimpang dari pada yahudi dan nasrani yang menolak nasikh, sebab mereka menolak nasikh untuk menyucikan Allah Swt dari sifat-sifat kekurangan. Sementara Imamiyah menisbatkan bada’ kepada Allah Swt bahwa menuduh Allah itu tidak tahu dan memiliki kekurangan.
Pengertian bada’ yang dipahami oleh orang yahudi dan nasrani yaitu berkenaan dengan qudrah Allah Swt, yang juga dibantah oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat 64, yang artinya: “ orang-orang yahudi berkata: ‘tangan Allah terbelenggu, sebenarnya tangan mereka yang terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan, (tidak demikian) tetapi kedua tangan Allah itu terbuka. Dia manafkahkan sebagaimana Dia kehendaki….”
Ringkasan kesalahpahaman ini adalah bahwa kalau Allah menciptakan sesuatu dan titah-Nya berlaku atasnya, maka adalah sangat mustahil bagi Allah untuk mengubahnya lagi. Misalnya adalah, ketika Dia menciptakan hukum gravitasi bumi. Maka, Dia menjadi tidak berkuasa lagi dan tidak berdaya dengan hukum ini sehingga tidak bisa mengubah atau menghapusnya. Dan diriwayatkan oleh Imam Shadiq as, “mereka tidak menyangka kepada Allah begitu tetapi berkata bahwa Ia telah menyelesaikan tugasnya dan tidak bisa menambahi dan menguranginya”.
Sedangkan bada’ yang diyakini oleh Imamiyah adalah gagasan tentang perubahan dan penghapusan di alam raya ciptaannya, yang sesuai dengan surat Al-Maidah ayat 64 yang artinya: “tetapi kedua tangan-Nya terbuka lebar. Ia menginfaqkan apa yang Ia kehendaki, serta ayat “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan dari sisi-Nya induk segala kitab”. Gagasan ini meyakini ilmu Allah yang mengatasi segala-galanya ke masa depan dan ke masa lalu, Ia berkuasa menambahi, mengurangi dan mengubah. Allah juga maha berkuasa untuk mendahulukan atau menunda dan mengganti.
Sedangkan takhshis berarti menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum, ketika tidak ada yang menakhshis (orang yang mempergunakan takhshis).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara nasikh, takhshis dan bada’ adalah, nasikh adalah kekuasaan atau kehendak yang dimiliki oleh Allah dan hanya suatu pertentangan satu ayat dengan yang lain dalam kejelasan lafadznya, bada’ adalah kekurangan atau hal yang menentang adanya nasikh sedangkan takhshis adalah bagian dari pada nasikh yang berarti mengkhususkan sesuatu yang umum.

C. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh Mansukh
Ayat yang menjadi dasar adanya nasikh :
               •      
Artinya : “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
1. Syarat-Syarat Nasakh
Untuk diterima adanya nasakh diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
- Yang dinasakh (mansukh) itu adalah hukum syara’, yang bukan sesuatu yang zatnya memang diwajibkan.
- Nasikh (yang menghapus) harus dalil-dalil syara’.
- Mansukh itu tidak terikat oleh waktu yang tertentu, seperti contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya : “Makan dan Minumlah kamu sehingga terang / tampak olehmu benang putih dari benang hitam, ialah fajar”.
- Nasikh harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak dapat menghapuskan yang kuat.
- Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian setelah mansukhnya,
- Nasikh (yang menghapus) harus hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.
- Nasikh dapat diketahui benar-benar sebagai nasikh dengan mengetahui adanya penjelasan dan lafadz yang menunjukan pembatalan.
- Adanya pertentangan antara dua dalil yang tidak bisa dikumpulkan antara dua buah dalil yang bertentangan, maka tidak ada boleh nasakh.

D. Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Nasikh Dan Mansukh.
Banyak sekali pendapat-pendapat yang dikemukakan tentang ada dan tidaknya nasikh dan mansukh ini baik dari para ulama, ahli tahqiq, ahli tafsir dan lain sebagainya, akan tetapi pada intinya, sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafal nasikh kembali kepada membatasi makna kata secara etimologi dan membatasi makna kata secara terminology. Perbedaan pendapat dalam menetapkan definisi nasikh, telah membayangkan kepada kita beberapa macam perselisihan yang lain dalam pokok pembicaraan ini.
Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnul Hashshar, yang harus kita pergunakan untuk menetapkan nasikh dan mansukh agar diantara kita sekalian tidak ada pertentangan seperti yang terjadi diantara para ulama, ialah nukilan yang tegas dari Rasulullah Saw atau dari sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan ayat ini, dinasakhkan oleh ayat itu. Dan juga kita dapat menetapkan kemansukhan suatu ayat, apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita mengetahui mana ayat yang terdahulu dan mana yang kemudian.
Dalam masalah nasakh kita tidak dapat berpegang kepada pendapat ahli-ahli tafsir, tidak pula kepada ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan yang nyata, karena nasikh berarti mengangkat suatu hukum yang telah tetap di masa Nabi.
Para muhaqqiq menandaskan, bahwa kebanyakan ayat yang disangka oleh ahli tafsir mansukhah atau nasikhah, sebenarnya hanya pengangguhan hukum, atau suatu kemujmalan yang ditunda penjelasannya sampai kepada waktu dirasa perlu atau untuk yang khusus.

E. Macam-Macam Nasikh Dalam Al-Qur’an.
Para ulama ushul membagi nasikh kepada beberapa macam, antara lain:
1. Yang dinasikh dalam kitab bacaannya, tetapi hukumnya tetap, misalnya dalam ayat yang artinya “orang yang sudah tua laki-laki maupun perempuan, jika berzina rajamlah keduanya tidak boleh tidak”. Ayat ini tidak ada pada bacaan, karena dihilangkan (dinasakh), tetapi hukumnya tetap, sebab sesudah itu nabi saw merajam orang yang muhshan. (hr. Bukhari dan muslim).
2. Dinasakh hukumnya, tetapi bacaannya tetap, seperti ayat:
       ••      
Artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya”. (QS. Al-Baqarah : 240).
Dari ayat ini dipahamkan bahwa ‘iddah wafat itu satu tahun lamanya, tetapi kemudian dinasakh dengan ayat:
           
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”(QS. Al-Baqarah : 234)
3. Dinasakh bacaan beserta hukumnya bersama-sama: misalnya hadits Muslim dari Aisyah r.a yang menyatakan bahwa: “ Menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”. “kemudian dinasakhkan dengan lima kali menyusu yang diketahui itu menjadikan haram”.
Tegasnya, dahulu pernah diturunkan bahwa sampai mengharamkan antara anak dan ibu susuan itu apabila telah sampai sepuluh kali susuan. Kemudian dinasakh dengan ayat yang menerangkan lima kali susuan sudah cukup menjadi batas bagi haramnya antara anak susuan dan ibu susuan.
4. Nasikh kitab dengan sunnah, misalnya firman Allah Swt:
        • .... 
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah : 180)
Kemudian dinasakh oleh hadits Nabi Saw yang artinya: “Tidak dianggap sah berwasiat untuk ahli waris”. (HR. Turmudzi dan ibn Majah)
5. Nasakh sunnah dengan sunnah, misalnya hadits Muslim yang menyatakan: “Dahulu aku telah melarang ziarah kubur, maka sekarang bolehlah engkau menziarahinya”.
Dan didalam contoh yang lain, Nabi Saw pernah berkata: “Janda yang berzinah dengan duda (dihukum) jilid 100 kali dan rajam”. Kemudian Nabi Saw pernah merajam Ma’iz dan tidak menjilidnya. Perbuatan Nabi terhadap Ma’iz ini berarti menghapus hukum yang terdapat dalam hadits yang pertama.
6. Nasakh sunnah dengan kitab, misalnya menasakh menghadap ke baitul maqdis: “Bahwasanya Nabi Saw, menghadap baitul maqdis dalam shalat enam belas bulan” (sepakat Ahli Hadits).
Dinasakh oleh ayat:
       •                 •               
Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah :144)
7. Nasakh dalam Al-Qur’an.
Memang dalam hal ini ada dua pendapat dikalangan ulama ushul, yaitu:
a. Golongan yang membenarkan adanya nasakh dalam al-qur’an
Golongan pertama yang dipelopori oleh Asy-Syafi’I, An-Nahhas, As-Sayuti dan Asy-Syaukani. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah:
               •      
Artinya: “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS. Al-Baqarah : 106)
Dan dalam Surat An-Nahl ayat 101:
   •                
Artinya: “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui”(QS. An-Nahl : 101)

b. Golongan yang menolak adanya nasakh dalam al-qur’an
Adapun golongan kedua yang menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada nasikh mansukh, mereka ialah: Abu Muslim Isfani, Al-Fakhrur Razi, Rasyid Ridla, dan Muhammad Abduh. Alasan-alasan golongan ini berdasarkan firman Allah Swt:
                
Artinya: “ Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya”(QS. Al-Kahfi : 27)
Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merubah firman-firman Allah.

F. Hikmah Keberadaan Nasikh Dalam Al-Qur’an.
1. Memelihara kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan tasyri’ itu kepada tingkat yang sempurna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan keadaan orang banyak.
3. Mencoba mukallaf dan melakukan percobaan-percobaan dengan mengikuti perintah dan meniadakannya.
4. Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya.

1 komentar: